Suasana olahraga pacuan kuda. (Foto: Sarga.co)
Suasana olahraga pacuan kuda. (Foto: Sarga.co)

Kenapa Gelar Triple Crown di Pacuan Kuda Susah Diraih? Ini Penjelasannya

Kautsar Halim • 08 Juli 2025 19:47
Jakarta: Triple Crown dalam pacuan kuda, membuat arena sunyi karena ketakjubannya, hingga mengguncang lintasan dengan sorak-sorai. Triple Crown bukan sekadar tiga kemenangan berturut-turut, melainkan simbol keunggulan mutlak.
 
Triple Crown adalah istilah untuk menyebut tiga balapan besar dalam satu musim, yang harus dimenangkan oleh seekor kuda pacu berusia tiga tahun. Karena itulah, seekor kuda hanya punya satu peluang seumur hidup untuk mengejarnya.
 
Tidak bisa memperoleh lebih cepat, tidak juga ada musim kedua atau ulangan. Kesempatan itu datang hanya sekali dan pergi secepat garis finis.

Meraih Triple Crown sangat sulit karena setiap balapan punya jarak tempuh berbeda. Artinya, kuda harus punya kecepatan sekaligus daya tahan. Lalu, waktu pemulihan pun relatif singkat.
 
Pemulihan fisik jadi tantangan besar dalam persaingan ketat. Semua kuda terbaik usia 3 tahun ikut serta, dan tidak ada lawan mudah. Kemudian, terdapat faktor eksternal seperti cuaca, trek, start buruk, hingga tekanan media.
 
Tidak mengherankan jika dalam sejarah panjang pacuan kuda di seluruh dunia, hanya segelintir yang berhasil mengunci tiga kemenangan dan menyematkan gelar Triple Crown Champion di namanya.
 
Triple Crown Simbol Supremasi Pacuan Kuda Dunia
 
Di Amerika Serikat, hanya kuda yang mampu menaklukkan tiga balapan legendaris: Kentucky Derby (1.600 meter), Preakness Stakes (1.900 meter), dan Belmont Stakes (2.400 meter), dalam rentang waktu dua bulan, yang berhak menyandang gelar bergengsi ini.
 
Dalam sejarah satu setengah abad Triple Crown Amerika Serikat, hanya 13 kuda yang berhasil mencatatkan namanya sebagai juara sejati.
 
Terakhir kali diraih Justify pada 2018, menyusul keberhasilan American Pharoah tiga tahun sebelumnya di 2015, yang mengakhiri masa penantian selama hampir 40 tahun setelah peraih gelar terakhir.
 
Inggris adalah tempat kelahiran pacuan kuda modern, Namun di sini pula Triple Crown seperti 'mitos'. Tiga balapan yang harus dimenangkan adalah 2000 Guineas Stakes (1.600 meter), The Derby (2.400 meter), St. Leger Stakes (2.900 meter).
 
Baca juga: JIEPP Berkembang jadi Pusat Pelatihan dan Pertandingan Seluruh Disiplin Olahraga Berkuda Indonesia
 
Tantangan utamanya bukan hanya soal jarak yang makin panjang, tapi juga karena standar kualitas yang luar biasa tinggi. Hingga kini, hanya 15 kuda yang pernah sukses menyapu bersih ketiganya. 
 
Nijinsky adalah nama terakhir dalam daftar peraih Triple Crown Inggris yang dicetak pada 1970. Sejak saat itu, banyak yang nyaris, tapi tak ada satu pun yang dapat menuntaskan.
 
Mungkin, yang paling dramatis dialami Camelot pada 2012 silam. Saat itu, Camelot hanya gagal di St. Leger Stakes dan membuat publik Inggris kecewa.
 
Di Jepang, Triple Crown dikenal dengan sebutan Sambakan. Eventnya terdiri dari Satsuki Sho (2.000 meter), Tokyo Yushun/Japanese Derby (2.400 meter) dan Kikuka Sho (3.000 meter).
 
Dibentangkan dari bulan April hingga Oktober, mahkota ini menuntut konsistensi selama setengah tahun, sesuatu yang sangat berat dalam dunia pacuan kuda. Hingga 2023, hanya 8 kuda jantan yang berhasil meraihnya.
 
Terakhir adalah Contrail (2020), menyusul nama-nama legendaris seperti Deep Impact, Orfevre, dan Symboli Rudolf.
 
Jepang juga memiliki versi Triple Tiara untuk kuda betina, yang terdiri dari: Oka Sho (1.600 meter), Yushun Himba/Japanese Oaks (2.400 meter), Shuka Sho (2.000 meter).
 
Kuda-kudabetina seperti Apapane, Gentildonna, dan Almond Eye menempatkan diri dalam sejarah sebagai ratu balap sejati. Liberty Island menjadi peraih Triple Tiara terbaru pada tahun 2023.
 
Australia punya dua versi Triple Crown yang membuat tradisi mereka unik dan lebih kompetitif. Untuk kuda jantan berusia tiga tahun, Triple Crown terdiri dari: Randwick Guineas (1.600 meter), Rosehill Guineas (2.000 meter), Australian Derby (2.400 meter).
 
Tiga balapan ini dihelat pada musim gugur, dengan jeda ketat dan jarak yang terus meningkat. Tak banyak yang sanggup menaklukkannya. Dua nama besar yang pernah berhasil adalah Octagonal (1996) dan It’s A Dundeel (2013).
 
Selain itu, terdapat Triple Crown sprinter di Australia untuk kuda spesialis jarak pendek. Nama-nama eventnya terdiri dari Lightning Stakes (1.000 meter), Newmarket Handicap (1.200 meter), dan TJ Smith Stakes (1.200 meter).
 
Karena persaingan ketat dan kualitas sprinter Australia yang merata, sangat jarang ada yang bisa menyapu bersih.
 
Tapi jika bicara sprinter terbaik, Black Caviar tetap yang tak tertandingi. Kuda berwarna hitam itu sudah 25 kali menang tanpa pernah kalah, termasuk beberapa dari balapan tersebut.
 
Di Hong Kong, Triple Crown bukan hanya sulit, tapi nyaris mustahil. Hingga tahun 2025, hanya dua kuda yang berhasil menyapu bersih, yakni River Verdon (1994) dan Voyage Bubble (2025).
 
Berbeda dari negara lain, Triple Crown Hong Kong terbuka untuk kuda pacu usia dewasa, bukan hanya tiga tahun. Tiga balapan yang harus dimenangkan adalah: Stewards’ Cup (1.600 meter), Citi Hong Kong Gold Cup (2.000 meter), Champions & Chater Cup (2.400 meter).
 
Kombinasi stamina, umur, dan konsistensi membuat gelar ini sangat langka dan dihormati. Tidak heran jika hanya dua nama berhasil mencatatkan sejarah dalam lebih dari tiga dekade.
 
Meski konsepnya serupa, tiga kemenangan dalam satu musim, Triple Crown di setiap negara punya warna dan tantangan tersendiri. 
 
Di Amerika, Inggris, dan Jepang, Triple Crown adalah arena khusus bagi kuda usia 3 tahun. Di Hong Kong usia tak lagi jadi batasan sedangkan di Australia terdapat mahkota untuk kuda sprinter. Bagaiman dengan di Indonesia?
 
Triple Crown Indonesia
 
Triple Crown di Indonesia, meski berbeda rute, namun semangatnya sama: tiga seri balapan berjenjang, yang masing-masing menuntut keunggulan berbeda. Seri I di bulan April (1.200 meter), Seri II di bulan Mei (1.600 meter), dan klimaksnya: Indonesia Derby di bulan Juli sejauh 2.000 meter.
 
Sepanjang sejarah PORDASI, baru dua kuda saja yang meraih gelar Triple Crown, yaitu Manik Trisula (2002) dan Djohar Manik (2014). Sejak itu atau sudah satu dekade lebih, mahkota itu hanya indah dikenang, namun sulit diulang.
 
Sejarah mencatat setidaknya ada tujuh kuda yang nyaris menyentuh Triple Crown. Ada yang gagal di leg terakhir seperti King Master (2006), King Runny Star (2015), Nara Asmara (2016) dan Queen Thalassa (2019).
 
Ada juga yang menang di 2 laga terakhir namun sayangnya gagal di leg pertama seperti Pesona Nagari (2008) dan Bintang Maja (2023). Sementara, Lady Aria (2018) memenangkan leg pertama dan Derby, tapi hanya mampu finis kedua di leg kedua.
 
"Dari situ kita lihat, begitu sulit meraih Triple Crown Indonesia," ujar Ketua Komisi Pacu PP PORDASI, Munawir.
 
Triple Crown, sambung Munawair, menuntut daya tahan luar biasa kuda, konsistensi tak tergoyahkan, strategi cermat, dan kesiapan menghadapi tantangan cuaca, cedera, bahkan fluktuasi psikologis seekor kuda.
 
Munawir menjelaskan Triple Crown Indonesia dirancang menyesuaikan karakter dan daya tahan kuda lokal. Derby pun tidak dibuat tidak berjarak 2.400 meter seperti di luar negeri agar tidak membebani atau mencederai kuda.
 
"Realistis saja. Karena kuda-kuda di sini belum kuat jaraknya sepanjang itu," ucap Munawir.
 
Adapun kriteria peserta Triple Crown Indonesia sama dengan negara lain kebanyakan, yakni kuda umur 3 tahun. "Artinya seekor kuda hanya punya satu kali peluang seumur hidup untuk menjadi juara Triple Crown," imbuh Munawir.
 
Kini, pacuan kuda Indonesia tengah berada di ambang pintu untuk mencetak sejarah baru Triple Crown. Sebab, terdapat Kuda King Argentine yang telah memenangkan Kelas 3 Tahun Derby di IHR–Triple Crown Serie 1 dan IHR–Triple Crown Serie 2. 
 
Kenapa Gelar Triple Crown di Pacuan Kuda Susah Diraih? Ini Penjelasannya
 
King Argentine bisa menjadi kuda ketiga peraih gelar Triple Crown Indonesia jika mampu memenangkan Kelas 3 Tahun Derby di IHR-Indonesia Derby. Selangkah lagi, dan kita berharap dapat melihat terukirnya sejarah baru di Indonesia.
 
Triple Crown bukan sekadar tiga kemenangan, melainkan ujian kesempurnaan tentang ketangguhan fisik, kecepatan, konsistensi, strategi matang, dan keberuntungan. Banyak yang mencoba, tapi hanya sedikit yang berhasil. 
 
Kini, Indonesia menantikan apakah mahkota itu akan menemukan tuan baru lewat ajang IHR–Kejurnas Serie 1 Indonesia Derby atau IHR–Indonesia Derby pada 27 Juli mendatang.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(KAH)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan