Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Kaleidoskop Sepak Bola 2020

PSSI Tahun 2020 Ngapain Aja?

Achmad Firdaus • 28 Desember 2020 22:43
Tahun 2020 menjadi tahun yang berat buat seluruh dunia. Tak terkecuali di Indonesia. Pandemi Covid-19 memporak-porandakan seluruh sektor industri, termasuk olahraga.
 
Sepak bola ikut jadi korban. Pada 14 Maret, kompetisi Liga 1 2020 yang baru bergulir tiga pekan, akhirnya harus dihentikan. PSSI dan PT LIB selaku operator kompetisi memutuskan menunda pertandingan selama dua pekan.
 
Kompetisi Tidak Jelas
Sayangnya, semakin lama angka penyebaran Covid-19 makin tak karuan. PSSI bahkan sampai tiga kali menyampaikan penundaan. Pertama, PSSI menjanjikan kompetisi dilanjut kembali pada 1 Oktober. Lalu ditunda sebulan menjadi November. Hingga akhirnya, pada 28 Oktober PSSI mengatakan bahwasanya Liga 1, 2 dan 3 kemungkinan baru bisa digelar pada tahun 2021.

"Rapat Exco PSSI menghasilkan keputusan bahwa PSSI menunda seluruh kompetisi yakni Liga 1,2, dan 3 pada tahun 2020 ini. Selanjutnya kompetisi akan dimulai lagi pada awal 2021 mendatang," kata Plt Sekjen PSSI, Yunus Nusi, di laman resmi PSSI.
 
Apakah ada garansi kompetisi bisa digelar pada awal 2021? Bisa jadi PSSI kembali gagal melobi pemerintah untuk mengeluarkan izin dilanjutkannya kompetisi Liga 1, 2 dan 3.
 
Menyoal ketidakjelasannya jadwal kompetisi tahun ini, PSSI harus segera cari solusi. Mereka tidak boleh berlindung di balik status "pandemi". Mochamad Iriawan selaku Ketua Umum beserta jajarannya harus segera menyusun strategi yang tepat, agar kemudian pemerintah bisa mengeluarkan izin.
 
Kalau di Eropa, bahkan negara tetangga seperti di Thailand, Malaysia dan Vietnam saja kompetisinya bisa tetap berjalan, mengapa kita tidak bisa? Saya curiga ada yang salah dengan pola pendekatan PSSI. Atau mereka tidak punya road map yang jelas terkait format kompetisi hingga protokol kesehatan, sehingga tak kunjung mendapatkan izin dari pemerintah?
 
Yang jelas, ketidakjelasan kompetisi ini menimbulkan efek domino yang cukup besar. Klub-klub kini mulai menjerit karena dana operasional mereka mulai menipis. Di tengah kondisi yang tidak pasti, mereka harus tetap membayar gaji para pemainnya.
 
Madura United jadi klub terakhir yang mulai menunjukkan gelagat tidak percaya pada PSSI. Klub asal Pulau Garam itu bahkan berencana membubarkan tim andai hingga akhir tahun ini PSSI tidak kunjung memberikan kepastian soal lanjutan kompetisi.
 
Yang menarik, rencana pembubaran tim Madura United ini disampaikan oleh Direktur klub, Haruna Soemitro. Seperti kita ketahui, Haruna ini merupakan salah satu anggota Komite Eksekutif PSSI yang terpilih berbarengan ketika Mochamad Iriawan terpilih sebagai Ketum pada Kongres Luar Biasa (KLB), November silam. Jadi, agak sedikit lucu apabila anggota Exco PSSI tidak mengetahui strategi federasi yang menaunginya.
 
Proyeksi Timnas dan Pembinaan Sepak Bola
 
 

Di luar sengkarut lanjutan kompetisi, PSSI juga punya masalah yang tak kalah pelik soal pembinaan usia muda demi menciptakan timnas yang tangguh di masa depan.
 
Ketum PSSI Mochamad Iriawan atau akrab disapa Iwan Bule memang sempat membuat gebrakan besar di awal kepemimpinannya sebagai ketum dengan menunjuk pelatih kaliber dunia, Shin Tae Yong untuk memegang tiga timnas sekaligus; Timnas U-19, U-23 dan Timnas Senior.
 
Tujuan Iwan Bule agar tiga level timnas ini memiliki visi dan misi bermain yang sama karena ditangani satu pelatih ini memang patut diapresiasi. Akan tetapi, di sisi lain, sulit bagi Shin Tae Yong untuk membagi konsentrasi.
 
Misi Shin untuk membantu memperbaiki peringkat Indonesia di ranking FIFA pun jadi terbagi. Karena dia juga harus memikirkan target-target lain; seperti membawa Timnas U-19 berprestasi di Piala Asia U-19 dan lolos dari fase grup di Piala Dunia U-20.
 
Alhasil, proyeksi timnas senior pun seakan jadi prioritas kedua. Sejak ditunjuk sebagai pelatih, Shin baru sekali mendampingi timnas senior berlaga, yakni saat melakoni uji coba melawan Persita Tangerang. Itupun, skuat Garuda dipaksa menyerah 1-4 pada 21 Februari 2020.
 
Kondisi ini jelas tidak baik untuk Indonesia. Terutama di ranking FIFA. Sebab, bukan performa timnas U-19 atau U-23 yang masuk dalam penghitungan poin FIFA, melainkan Timnas senior. Di luar terbatasnya laga-laga uji coba internasional karena korona, Timnas Indonesia tak beranjak dari posisi 172 FIFA. Setara dengan ranking Kamboja, negara yang dulu kerap jadi lumbung gol Indonesia.
 
Di level junior, Iwan Bule beserta jajaran PSSI lainnya boleh sedikit berbangga karena aksi para penggawa Timnas U-16 dan U-19 kerap menuai decak kagum baik dari dalam maupun luar negeri.
 
Shin Tae Yong dengan Timnas U-19 nya kerap dapat pujian berkat penampilan menawan saat melawan klub-klub mapan pada laga uji coba di Kroasia. Sementara Timnas U-16 lewat program Garuda Select terus menunjukkan grafik yang signifikan dalam proses pembelajarannya di Inggris.
 
Namun, yang perlu diingat. Proyek pembinaan usia muda ini bukan lahir di era kepemimpinan Iwan Bule. Proyek pembinaan usia muda atau disebut Elite Pro Academy (EPA) sudah ada sejak 2018, dan kemudian disempurnakan menjadi tiga jenjang, yakni U-16, U-18, dan U-20, pada 2019. Ini merupakan program yang disusun pengurus PSSI kala itu demi memuluskan proyek jangka panjang menuju event besar skala junior, seperti Piala Dunia U-20, atau Olimpiade 2024.
 

 
Melihat proyek di atas, saya agak tergelitik saat mendengar statement PSSI menyusul keputusan FIFA yang menunda gelaran Piala Dunia U-20 yang sejatinya digelar pada 2021, menjadi tahun 2023.
 
Dalam sebuah artikel di laman resmi PSSI, Iwan Bule mengapresiasi keputusan FIFA menunda gelaran Piala Dunia U-20 ke tahun 2023. Menurutnya, penundaan tersebut memberikan waktu bagi Indonesia selaku tuan rumah, untuk mempersiapkan diri lebih matang sehingga mendapat hasil yang lebih maksimal.
 
"Saya berharap semoga persiapannya bisa lebih menyeluruh, matang, dan nanti bisa menjadi juara," jelas eks Kapolda Metro Jaya itu.
 
PSSI dalam hal ini Iwan Bule boleh saja optimistis. Tapi, ia juga harus realistis bahwa pada Piala Dunia U-20 tahun 2023 nanti, skuat timnas Indonesia yang akan berlaga bukanlah para penggawa timnas U-19 yang saat ini tengah digembleng Shin Tae Yong. Melainkan pemain-pemain yang saat ini menghuni skuat Timnas U-16.
 
Dengan materi pemain-pemain potensial macam Bagus Kahfi, Witan Sulaeman dkk yang sudah terbukti punya prestasi, PSSI saat itu hanya memasang target lolos dari fase grup Piala Dunia U-20. Lha, kini dengan materi pemain yang masih abu-abu, PSSI ingin Indonesia juara Piala Dunia? Lantas bagaimana caranya? Sudahkah PSSI membuat langkah-langkah menuju ke sana?
 
Untuk menuju ke sana, pembinaan usia dini beserta wadah kompetisinya menjadi kunci. Akan tetapi, yang terjadi saat ini, kompetisi-kompetisi usia muda justru tidak berjalan.
 
Kompetisi Elite Pro Academy (EPA) U-16, U-18 dan U-20 yang sudah digelar tahun 2019, tidak berjalan di tahun ini. Karena pandemi? Bisa jadi. Tapi, apakah setelah pandemi kompetisi ini bakal dijalankan PSSI? Belum ada garansi.
 
Sepak Bola Putri
 
 

Kompetisi sepak bola putri tahun 2020 ini juga mati suri. Padahal setahun yang lalu kompetisi ini baru kembali berdiri. Timnas putri pun kembali eksis, bahkan tampil di SEA Games 2019 di Manila Fipilina.
 
Tahun ini, PSSI terlihat tidak serius dalam menjalankan program sepak bola putri. Dari artikel-artikel yang berseliweran di media sejauh ini, artikel teranyar yang saya baca terkait timnas putri adalah soal PSSI yang mulai menyeleksi pelatih Timnas Indonesia. Tapi, artikel itu diterbitkan pada bulan Maret 2020.
 
Sampai detik ini, saya tidak tahu siapa pelatih yang dipilih PSSI sebagai pelatih Timnas putri. Sementara di laman resmi PSSI, artikel paling terkini soal timnas putri ditulis pada 2019.
    
Di luar masalah kompetisi, road map timnas, dan sepak bola putri, kinerja PSSI dari sisi teknis juga patut dipertanyakan; Apa kabar program pengembangan wasit, pembinaan usia dini, hingga pengembangan pelatih? Area-area teknis ini sepertinya masih berjalan di tempat. Atau mungkin malah berjalan mundur?
 
Lantas, apa saja yang dilakukan PSSI selama tahun 2020?
 
Di samping sibuk melobi pemerintah dalam mendapatkan izin kompetisi yang hingga kini belum terealisasi, sepanjang tahun ini PSSI justru sibuk menangkis tudingan miring para pecinta bola terhadap kinerja mereka.
 
Yang pertama terkait satgas anti mafia bola. Iwan Bule sempat menuai pujian dengan gebrakan di awal kepemimpinannya, yakni memerangi kasus mafia bola. Dengan latar belakangnya sebagai Purnawirawan Polisi, ia kemudian bekerja sama dengan Polri untuk membentuk Satgas Antimafia Bola.
 
Akan tetapi, sepanjang tahun 2020 ini, sepak terjang Satgas Antimafia Bola tak lagi terdengar. Harapan publik untuk melihat nama besar lain -selain Joko Driyono- dalam kasus mafia bola tidak terwujud. Padahal, mereka meyakini ada mafia-mafia bola lain yang masih berkeliaran di lingkungan PSSI.
 
Isu terakhir yang mungkin juga cukup menguras pikiran para pengurus PSSI saat ini adalah soal tudingan adanya praktik "Jual beli jabatan manajer timnas" yang ramai di bulan Desember ini.
 
Tudingan ini pertama kali digaungkan wartawan senior Erwiyantoro lewat laman facebook Cocomeo Reborn. Di akun media sosialnya itu, pria yang akrab disapa Mbah Coco ini bercerita bahwa, PSSI menerima cek senilai 100 ribu dollar Singapura sebagai pelicin agar Dodi Reza Alex Noerdin, tokoh sepak bola Palembang, agar jadi manajer Timnas Indonesia U-20.
 
Apakah isu ini benar? Kita tunggu saja kelanjutannya.. 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ACF)
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan