Mahasiswa melakukan aksi demo pengecaman aksi teror yang terjadi di Jakarta dengan menyalakan lilin. (foto: Antara/M Risyal Hidayat)
Mahasiswa melakukan aksi demo pengecaman aksi teror yang terjadi di Jakarta dengan menyalakan lilin. (foto: Antara/M Risyal Hidayat) ()

Terorisme dan Wajah Keindonesiaan Kita

20 Januari 2016 13:42
Airlangga Pribadi Kusman, Staf Pengajar Departemen Politik FISIP Unair Associate Director Akar Rumput Strategic Consulting
 

 
TERORISME dan merebaknya paham kebencian yang berkembang beberapa tahun belakangan ini tidak saja menunjukkan kekerasan masih saja menjadi cara berkomunikasi dalam kehidupan sosial kita. Lebih dari persoalan komunikasi melalui kekerasan, hal itu menunjukkan krisis hidup berbangsa, relasi yang menghubungkan tiap-tiap orang sebagai kita, bukan hubungan antara kami dan kalian, atau mereka dan kita. Suatu hubungan kebersamaan dalam hidup kebangsaan yang hanya bisa dirawat secara kesinambungan, melalui relasi hidup bernegara yang berdasarkan atas prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
 
Problem hidup berbangsa itu muncul salah satunya ketika di tengah rutinitas kesibukan, teror bom terjadi di Jalan MH Thamrin, Kamis (14/1). Beberapa saat kemudian warga malah merespons dengan seruan tidak takut teror, diselingi celotehan meledek teroris sebagai manusia-manusia absurd dan bigot berbalut ideologi agama. Jika kita merenungkan teror yang baru saja terjadi, ada ungkapan arif tokoh sufi yang hidup beberapa abad silam, Syaikh Jalaluddin Rumi, bahwa segala fenomena yang kita temui ialah cermin dari hidup kita, yang mengajak kita belajar, mengintrospeksi kehidupan dan segenap kelemahan yang ada dalam diri kita secara kolektif sebagai bangsa.
 
Upaya introspeksi kolektif atas kasus teror itu hendaknya dimulai dengan menolak ucapan klise banyak elite politik untuk terus belajar dari sejarah yang silam. Kita terbiasa memahami kekerasan nonaktor negara sebagai teror dan kekerasan oleh negara secara terpisah. Padahal, apabila ingin tahu mengapa teror terjadi, kita harus melihat keduanya secara tidak terpisah satu sama lain. Untuk itulah, tulisan ini akan membahas persoalan merebaknya paham kebencian sebagai awal dari terorisme dalam dua perspektif; krisis negara neoliberal dan melemahnya basis politik yang membela keindonesiaan.
 
Krisis neoliberal
 
Ketika berhenti pada penjelasan bahwa persoalan teror dan kebencian ialah tanda dari pemahaman yang salah dan sempit dari kaum bigot dalam membaca teks-teks agama, kita akan kehilangan penjelasan apakah yang membuat kaum itu terjebak dalam pusaran pemahaman agama yang sempit, tertutup, dan bertendensi kebencian. Jawaban atas pertanyaan tersebut akan membawa kita pada analisis sosiologis atas format bernegara dalam rezim neoliberal pasca-Orde Baru.
 
Sikap kebencian dan eksklusivisme ialah manifestasi dari meluruhnya solidaritas kebersamaan sebagai bangsa Indonesia. Hal itu ialah produk frustrasi sosial akibat dari penyesuaian struktural menuju rezim negara neoliberal, yang menjadikan negara tidak mampu memberikan pelayanan lebih luas kepada masyarakat miskin. Lihat saja indeks ketimpangan di Indonesia pada 2015 menunjukkan 10% warga terkaya menguasai 77% kemakmuran ekonomi, dan 1% warga terkaya menguasai sekitar 50% hasil pembangunan. Bandingkan dengan 90% warga yang berebut 23% dari hasil pembangunan.
 
Dalam konfigurasi sosial-ekonomi seperti itu, ikatan sosial memudar, rajutan kebangsaan sebagai bangsa hilang, dan tiap-tiap orang terutama mereka yang dimiskinkan bisa menjadi kader dan pengikut kelompok-kelompok yang mengajarkan kebencian kepada yang berbeda. Dalam konstruksi ekonomi-politik seperti itulah imajinasi bersama tentang keindonesiaan tidak lagi dipercaya sebagian kalangan. Bagi mereka, ide-ide lain seperti kekhalifahan, misalnya, menjadi alternatif lain yang akan diperjuangkan.
 
Basis sosial
 
Dalam konteks ini tatanan politik rezim kapitalisme otoritarianisme Orde Baru lahir dari penghancuran basis sosial kekuatan nasionalisme kerakyatan melalui teror, ancaman, dan intimidasi.
 
Sebuah momen horor kolosal yang tidak saja melahirkan kekerasan demi kekerasan dalam bingkai struktural, tetapi juga yang juga menjadi fatal ialah masyarakat sipil kehilangan pertahanan diri yang efektif untuk menjinakkan kekuatan-kekuatan populisme fasistis, yang menjadikan jargon kebencian sebagai salah satu instrumen mereka untuk memperoleh dukungan. Apabila pada 32 tahun era Orde Baru kekuatan fanatik itu dapat diredam melalui teror dan ancaman negara serta kontrol hierarki militer sampai kehidupan masyarakat terkecil, sekarang kita kehilangan fondasi basis kultural.
 
Sehubungan dengan problem basis sosial kewargaan, kegotongroyongan, dan keindonesiaan dalam kehidupan sosial kita, apakah secara kolektif siap bertindak militan dalam membela ideologi kebersamaan? Mampukah kita sebagai warga negara secara kolektif melawan dengan gigih tendensi antikebinekaan?
 
Kebijakan negara yang harus dieksplorasi ialah apakah aparat negara sudah memiliki strategi kultural yang tepat, untuk mendorong perjuangan membela hidup bersama yang lebih terfokus dan terukur sehingga respons terhadap teror dan paham kebencian tidak hanya terbatas pada kebijakan picik berbasis teror, represi, dan kekerasan. Kebijakan yang hanya akan melahirkan kebencian baru seperti memberi api untuk membakar bahtera Indonesia sebagai rumah kita bersama.
 
Sebenarnya mayoritas di antara kita masih loyal dengan gagasan gotong-royong dan keindonesiaan. Namun, ada warga dan aparat negara yang masih gagap dan bingung untuk mengonsolidasikannya sebagai kekuatan budaya dan politik yang efektif untuk merawatnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase ledakan di sarinah

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif