ilustrasi. (foto: MI/Susanto)
ilustrasi. (foto: MI/Susanto) ()

Anatomi Kejahatan Korporasi

19 Februari 2016 15:46
Muladi, Guru Besar Emeritus FH Undip
 

 
SERING kali orang penasaran dengan banyaknya berita tentang terjadinya kejahatan korporasi, tapi jarang orang mendengar korporasi menjadi tersangka, terdakwa, dan terpidana.
 
Pemahaman atas anatomi atau ilmu urai tentang struktur tubuh kejahatan korporasi dibutuhkan agar pendayagunaan alat-alat bukti dapat diarahkan ke sasaran yang tepat. Kejahatan korporasi harus diberantas karena dimensi kerugiannya sangat luas, bisa dialami negara, konsumen, pemegang saham yang tidak bersalah, karyawan, perusahaan saingan, dan masyarakat.
 
Itu bergantung pada jenis kejahatannya. Sangat ironis dan tidak adil apabila ada suatu korporasi yang telah diuntungkan oleh kejahatan atau mungkin dijadikan alat untuk melakukan atau menampung hasil kejahatan, tapi tidak dituntut atau malah dibebaskan dan hanya pengurusnya yang dipidana.
 
Sejak 1955, hanya perundang-undangan pidana di luar KUHP yang memungkinkan pertanggungjawaban pidana korporasi (lebih dari 60 perundang-undangan), baik berupa tindak pidana murni (tindak pidana korupsi, pencucian uang, terorisme, narkotika, perdagangan orang) maupun tindak pidana administratif (tindak pidana pajak, kehutanan, lingkungan hidup, pasar modal, telekomunikasi, dan perikanan).
 
RUU KUHP mengatur nantinya korporasi dapat melakukan semua tindak pidana, baik di dalam maupun di luar KUHP, kecuali ada pengecualian.
 
Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
 
Dalam berbagai perundang-undangan, digunakan berbagai istilah untuk menggambarkan adanya korporasi, misalnya, perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, koperasi, BUMN/BUMD, badan usaha yang berbentuk firma, dan persekutuan komanditer.
 
Perdebatan teoretis yang bersumber dari doktrin bahwa korporasi merupakan entitas yang tidak memiliki hati nurani atau sikap batin tidak dapat menjadi subjek pertanggungjawaban pidana (doktrin societas delinquere non potest) sudah terselesaikan.
 
Teori identifikasi yang menyatakan semua tindakan atau tindak pidana yang dilakukan orang-orang yang dapat diidentifikasikan sebagai organisasi ialah mereka yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi, yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan atau keuntungan korporasi.
 
Itu mereka lakukan berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain dalam lingkup usaha korporasi itu, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama, dan mengandung arti telah terjadi tindak pidana.
 
Dalam berbagai instrumen internasional, seperti Konvensi Hukum Pidana Dewan Eropa tentang Korupsi (Strasbourg, 1999), kemudian Konvensi Uni Eropa tentang Cyber Crimes (Budapest, 2011) dipertegas bahwa kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi ialah mereka yang memiliki suatu posisi penting dan dominan (a leading position) dalam korporasi atas dasar kekuasaan untuk mewakili korporasi, kewenangan untuk mengambil keputusan atas nama korporasi, atau kewenangan untuk menerapkan pengendalian dan pengawasan dalam korporasi.
 
Mereka dianggap terlibat sebagai pelaku kejahatan korporasi, termasuk apabila keterlibatan mereka sebagai penganjur atau sebagai pembantu kejahatan korporasi.
 
Pidana tambahan
 
Belanda yang sudah memasukkan pertanggungjawaban pidana korporasi secara umum pada 1976 dan menghadapi ratusan tindak pidana korporasi setiap tahun dalam Pasal 51 KUHP-nya menentukan badan hukum dan yang memerintahkan melakukan perbuatan, demikian pula terhadap mereka yang bertindak sebagai pemimpin yang melakukan tindakan terlarang, dapat dituntut, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
 
Dalam yurisprudensi di Belanda, muncul teori atau kriteria kepelakuan fungsional untuk menentukan ada atau tidaknya kejahatan korporasi.
 
Pertama, adakah perbuatan atau omisi (tidak berbuat) dari seseorang yang berkaitan dengan pekerjaannya atau untuk alasan lain bekerja dalam badan hukum.
 
Kedua, apakah perbuatan atau omisi yang dilakukan sesuai dengan bisnis normal korporasi.
 
Ketiga, apakah perbuatan tersebut menguntungkan korporasi.
 
Keempat, apakah korporasi mampu memutuskan perbuatan tersebut harus terjadi atau tidak.
 
Kelima, apakah perbuatan tersebut diterima atau biasanya diterima oleh korporasi (Keijzer, 2013).
 
Hukum acara pidana tentang kejahatan korporasi secara umum dapat berpedoman pada Pasal 20 UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut.
 
Pertama, dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, korporasi tersebut diwakili pengurus.
 
Kedua, pengurus dapat diwakili orang lain.
 
Ketiga, hakim dapat memberikan perintah supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat memerintahkan pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
 
Empat, dalam hal tuntutan pidana yang dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan itu disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
 
Pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi biasanya denda dan tindakan tata tertib sebagai pidana tambahan yang bersifat umum dan khusus.
 
Dalam tindak pidana korupsi, di samping pidana denda yang dapat diperberat dengan 1/3, dapat juga dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang bergerak dan tidak bergerak yang digunakan untuk atau diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana, pembayaran uang pengganti, penutupan seluruh atau sebagian perusahaan, dan pencabutan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu.
 
Dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 18 UU NO 15/2003 jo Perppu No 1/2002, di samping pidana denda paling banyak Rp1 miliar, korporasi yang terlibat dapat dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang.
 
Dalam Pasal 117 jo Pasal 119 UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, di samping denda yang diperberat dengan 1/3, korporasi atau badan usaha dapat dikenai pidana tambahan atau tindakan tata tertib yang berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan, perbaikan akibat tindak pidana, pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, dan/atau penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama (tiga) tahun.
 
Pada akhirnya dapat dikatakan, "Suatu kebenaran bahwa korporasi memang tidak mempunyai hati nurani, tetapi korporasi yang dipimpin orang-orang yang hati-hati dan selalu mendengarkan suara hati ialah suatu korporasi yang berhati nurani." (Thoreau, 1993).
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase kasus penggelapan

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif