Thomas Koten, Direktur Social Development Center
Presiden Joko Widodo akhirnya berani menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis premium dan solar. Sebagaimana biasa, betapa pun baiknya sebuah kebijakan untuk hajat hidup orang banyak tidak akan menyenangkan semua pihak. Itu pula yang terlihat pada kebijakan Presiden Jokowi yang langsung menimbulkan pro-kontra.
Pihak yang pro dengan kebijakan itu tentu mendasarkan alasannya bahwa subsidi BBM selama ini hanya dinikmati kalangan menengah ke atas yang tidak pantas. Oleh karena itu, tepat kalau dana subsidi BBM harus dikurangi dan dialihkan untuk kebutuhan negara yang lebih besar, seperti pembangunan infrastruktur dan untuk menciptakan ekonomi kreatif bagi rakyat kecil.
Sedangkan bagi pihak yang menentang kebijakan itu tentu mendasarkan alasannya pada persoalan kesejahteraan rakyat kecil, karena dengan naiknya harga BBM, biaya transportasi dan harga-harga kebutuhan hidup lainnya ikut naik. Itu yang membuat rakyat kecil semakin menderita dan bisa menciptakan kemiskinan baru.
Bagaimana kita mengelaborasi persoalan itu, jika dikerling dari dimensi etis sebuah kebijakan? Itulah pertanyaan yang baik untuk menyelami persoalan tersebut dari sisi yang lebih bersahabat. Kebijakan yang bisa dipahami Menaikkan harga BBM merupakan tindakan yang paling kritis di banyak negara, terutama di Indonesia.
Di mana pun, seperti di Indonesia, kebijakan menaikkan harga BBM selalu menimbulkan resistensi keras di tengah masyarakat dengan munculnya aksi demonstrasi. Rakyat pun kian menderita lantaran adanya efek domino dari kebijakan tersebut. Karena itu, pemerintah pun kerap raguragu dan menunda-nunda tindakan yang sebenarnya diketahui tidak bisa dihindari.
Lalu, bagaimana kebijakan bernilai etis yang semestinya diambil pemimpin? Dalam situasi ini, bisa dilihat dengan kasatmata perbedaan yang jelas antara pemimpin populisme murahan dan tanggung jawab moral, antara suarasuara kenabian nan profetik publik atau suara-suara kebapakan serta kepemimpinan sejati.
Keberanian mengambil tindakan tidak populer merupakan bukti kualitas seorang pemimpin. Banyak pemimpin lemah yang selalu menghindari kebijakan yang tidak populer, akhirnya semakin menjerembabkan negara ke jurang malapetaka.
Sebaliknya, banyak pemimpin hebat yang selalu akrab dengan kebijakankebijakan yang tidak populer dan menyakitkan. Itu pula yang dikatakan John Major, "Jika sebuah kebijakan tidak menyakitkan, sang pemimpin sesungguhnya tidak bekerja."
Dari sinilah kita bisa melihat dan menilai berbagai drama ketegangan seputar kebijakan Jokowi menaikkan harga BBM. Apakah dalam pemerintahan ini terlihat adanya kepalsuan dan kesejatiannya sebagai cermin pemimpin berkualitas? Yang kita harapkan dari pemerintahan Jokowi ialah pertama, pemerintah tidak memanjakan kepentingan-kepentingan elitis demi mengompensasikan kekuatan atau kelemahan kekuasaan mereka yang baru terbentuk ini harus dibayar mahal oleh penderitaan rakyat dan kedaulatan negara dalam jangka panjang.
Kedua, diharapkan pemerintahan Jokowi senantiasa tampil dalam kesejatiannya mendengarkan segala jerit an rakyat di balik penaikan harga BBM. Bahwa di tengah pelbagai argumen pro-kontra yang digelontorkan di ruang publik, setiap argumen memiliki rasionalitasnya. Harus dipahami, bahwa kebijakan itu banyak atau sedikit memberatkan kehidupan rakyat kecil. Harus dipahami pula bahwa suara protes baik demonstrasi mahasiswa ataupun keluhan rakyat kecil ialah potret kejujuran dan ketulusan dari arus bawah yang harus dikemukakan.
Meskipun kebijakan menaikkan harga BBM untuk saat ini masih bisa dimaklumi dan diterima rakyat, dengan melihat kesulitan yang dihadapi pemerintahan baru dalam kaitan dengan defisit APBN, harus dicatat pula bahwa aksi demonstrasi dan jeritan rakyat ialah suarasuara kebenaran, kejujuran, dan ketulusan yang harus didengar untuk dijadikan sebagai bahan refleksi yang amat penting bagi pemerintah untuk setiap kebijakan yang akan datang. Supaya kebijakan-kebijakan yang akan datang tidak mengubah sikap nrimo alias pasrah.Rakyat menjadi kekecewaan dan sakit hati.
Mengapa? Perlu diingat bahwa perjalanan jatuh bangunnya kekuasaan di negeri ini memberi pelajaran, sekuat apa pun rekayasa kepalsuan pada akhirnya akan jebol.
Cek Berita dan Artikel yang lain di