KEBANYAKAN pemimpin di negeri ini lebih gemar berkoar-koar ketimbang mendengarkan suara, apalagi kritikan rakyat. Padahal, keutamaan seorang pemimpin ialah mampu mendengarkan suara rakyat di jalan sunyi sekalipun. Kemampuan mendengarkan suara rakyat itulah yang ditunjukkan Presiden Joko Widodo.
Tidak hanya mendengarkan, Jokowi juga tak segan-segan merevisi kebijakan anak buahnya yang dianggap bertentangan dengan aspirasi masyarakat. Setidaknya ada dua contoh faktual dan aktual yang memperlihatkan Jokowi bukan pemimpin yang selalu enggan memutuskan dan suka melimpahkan kesalahan.
Pertama, terkait dengan kontroversi penunjukan pelaksana tugas gubernur dari kalangan perwira kepolisian. Penunjukan pelaksana tugas dari kalangan kepolisian pada mulanya diinisiasi Kementerian Dalam Negeri. Meski kebijakan itu menuai protes yang luas di tengah masyarakat, Kemendagri tetap kukuh mempertahankan kebijakan yang memunculkan pro dan kontra itu.
Pada akhirnya, pemerintah memutuskan untuk membatalkan penunjukan pelaksana tugas gubernur dari kalangan perwira kepolisian. Kedua, menyangkut hasil revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Sikap Presiden terkait dengan revisi UU MD3 malah jauh lebih keras daripada reaksi masyarakat.
Presiden tidak mau meneken undang-undang yang menjadikan DPR mahakuasa. Presiden pun mempersilakan masyarakat mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Setiap rancangan undang-undang (RUU) yang disetujui DPR bersama pemerintah memang disahkan presiden dengan membubuhkan tanda tangan.
Akan tetapi, sesuai ketentuan yang berlaku, jika tidak diteken presiden dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak disetujui bersama DPR, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Dalam perspektif itulah kita membaca keengganan Presiden Jokowi meneken RUU MD3 sebagai sebuah sikap politik.
Presiden pun bisa saja membatalkan UU MD3 lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Namun, Presiden lebih mendorong masyarakat mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Toh sudah ada kelompok masyarakat yang menyatakan melakukan uji materi UU tersebut.
Di masa depan, koordinasi internal pemerintahan dalam membahas sebuah undang-undang bersama DPR harus lebih baik. Jangan sampai pemerintah ikut menyetujui RUU yang isinya berseberangan dengan aspirasi rakyat dan tidak sejalan dengan keinginan presiden.
Selama pembahasan RUU di DPR, menteri yang bertugas wajib memberikan laporan secara berkala kepada presiden. Jangan biarkan presiden terkaget-kaget setelah keputusan diambil. Terus terang, kita mengapresiasi Presiden Jokowi yang tanggap memutuskan dan cepat bertindak setelah mendengarkan dengan sungguh-sungguh aspirasi masyarakat.
Sudah sepatutnya seorang pemimpin mempunyai pendengaran yang peka terhadap keluahan, bahkan kritikan rakyatnya. Kepekaan Presiden itu menceminkan sebuah kesadaran bahwa kekuasaannya hanyalah amanah yang harus ia tunaikan kepada pemiliknya, yaitu rakyat yang dipimpinnya.
Kita berharap, sangat berharap, semua pemimpin dalam tiap level di negeri ini mengasah kepekaan untuk mendengar perasaan rakyat yang tidak terekspresikan, kesakitan yang tak terungkapkan, dan keluhan yang tidak diucapkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
