Ibadah Superdamai
Ibadah Superdamai ()

Ibadah Superdamai

02 Desember 2016 06:44

MENJAGA dan merawat Indonesia merupakan tugas suci seluruh warga negara, terutama para pemimpin formal dan informal. Salah satu cara merawatnya ialah dengan mengedepankan perilaku saling menghormati dan konsisten menjalankan kesepakatan bersama.

Konsistensi menjalankan kesepakatan bersama itulah yang menjadi ujian sesungguhnya saat menggelar Aksi Bela Islam III pada hari ini. Polri dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 28 November bersepakat menggelar aksi superdamai berupa gelar sajadah untuk salat Jumat, yang diawali zikir dan istigasah.

Terang benderang aksi hari ini bisa disebut ibadah. Ibadah harus dijaga kesuciannya. Di dalamnya pantang terkandung niat atau perbuatan yang mengotori kesuciannya.

Aksi hari ini jelas berbeda dengan sebelumnya. Aksi sebelumnya meneriakkan tuntutan agar Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama diproses hukum. Proses hukum sudah berlangsung, bahkan berkasnya sudah diserahkan ke pengadilan.

Kesepakatan para pihak untuk menggelar ibadah sama sekali tidak meniadakan hakikat kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum yang sepenuhnya dijamin konstitusi. Kebebasan di ruang publik harus dikelola secara dewasa dalam rangka 'melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia'.

Sangat tidak mungkin membiarkan aksi yang substansinya ibadah itu berkembang dan berhenti sekehendak hati. Demi kemerdekaan kolektif, kebebasan memang memerlukan rambu-rambu. Rambu-rambunya tidak sebatas yang tertulis, tetapi juga hal-hal yang disepakati. Misalnya, aksi hanya dipusatkan di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, pukul 08.00-13.00 WIB.

Sudah lama kita merindukan aksi demonstratif yang memperlihatkan sisi-sisi keadaban publik, sebuah aksi yang membanggakan karena berlangsung tertib, bersih, dan terkendali. Apalagi, aksi itu berbalut kegiatan keagamaan. Jika agama didudukkan pada tempat yang benar, sungguh ia akan memancarkan rasa damai dan tenteram.

Rasa damai dan tenteram itulah yang selalu terbang jauh saat unjuk rasa dilakukan. Demonstrasi yang menyebabkan kemacetan telah merenggut kemerdekaan orang lain. Unjuk rasa yang menyebabkan perusakan terhadap sarana umum juga merenggut hak orang lain untuk menikmati kenyamanan.

Harus tegas dikatakan bahwa kebenaran tidak bisa didikte aksi apa pun dengan jumlah massa berapa pun. Salah dan dihukumnya seseorang merupakan kewenangan pengadilan. Salah dan dihukumnya seseorang bukan ranah kekuatan massa. Jika itu dilakukan, pintu tirani terbuka lebar.

Apresiasi harus diberikan kepada demonstran yang menuntut kasus penistaan agama diproses hukum. Acungan dua jempol juga diberikan kepada penyidik kepolisian, pun kejaksaan dan kelak pengadilan, yang mampu merampungkan penyidikan perkara Basuki dalam tempo relatif singkat.

Elok nian bila perjuangan dari jalanan berpuncak pada gelar sajadah hari ini. Kita percaya ibadah hari ini berlangsung aman dan damai. Namun, itu tidak berarti mengendurkan kewaspadaan kita terhadap ikut campurnya para penyusup dan penunggang. Polri sendiri berkomitmen menindak siapa pun yang mencoba mengail di air keruh.

Kini saatnya kita percayakan hukum untuk bekerja guna menemukan kebenaran dan keadilan sejati. Kebenaran dan keadilan tidak bisa didikte unjuk rasa yang setiap hari berlangsung di jalanan. Sekali hukum dipercaya sebagai panglima, selamanya pula kita yakin bahwa kebenaran dan keadilan itu hanya bisa diperjuangkan di ruang pengadilan. Itulah yang disebut konsistensi sikap dan perbuatan.


 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase

TERKAIT
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif