LANGKAH jajaran Polda Riau menghentikan penyidikan dugaan keterlibatan 15 korporasi dalam kebakaran lahan dan hutan tahun lalu jelas berseberangan dengan semangat menjerakan penjahat lingkungan. Tindakan hukum dan politik diperlukan untuk menggugat langkah tersebut.
Mustahil dibantah lemahnya penegak hukum dalam kasus kebakaran lahan dan hutan ialah penyebab utama bencana ekologis itu menjadi rutinitas tahunan. Belum semua penegak hukum satu pemahaman dan satu kemauan dalam menyikapi biang kebakaran lahan. Ada yang tegas tanpa kompromi, ada pula yang terus berbaik hati kepada para pembakar lahan, apalagi jika pembakar itu ialah korporasi yang punya banyak uang.
Apa yang dilakukan jajaran Polda Riau ialah bentuk ketidaktegasan penegak hukum terhadap mereka yang diduga melanggar hukum. Surat perintah penghentian penyidikan atau SP3 terhadap 15 perusahaan yang mereka keluarkan Juli silam merupakan wujud ketidakseriusan dalam memerangi dalang kebakaran lahan dan hutan.
Polda Riau memang mengklaim tak asal menerbitkan SP3 tersebut. Mereka mengemukakan sederet alasan, seperti tidak ada bukti yang cukup, area yang terbakar dikuasai masyarakat, dan perusahaan sudah memiliki alat pemadam kebakaran yang memadai.
Namun, di mata publik, SP3 itu tetaplah janggal. Para pegiat lingkungan dibuat meradang, masyarakat Riau yang tahun lalu hidup berbulan-bulan dalam cekikan asap akibat kebakaran lahan dan hutan pun geram. Seabrek pertanyaan menyeruak kenapa polisi kerap berbaik hati kepada korporasi yang diduga menjadi pemantik bencana. Memang, bukan kali ini saja polisi menghentikan penyidikan kasus kebakaran lahan yang melibatkan perusahaan.
Bahkan, tak kurang dari Presiden Joko Widodo ikut mempertanyakan langkah Polda Riau tersebut. Terakhir, DPR menunjukkan atensi mereka dengan membentuk panitia kerja (panja) untuk mendalami kasus kebakaran lahan dan hutan. Lebih khusus lagi, panja akan mendalami SP3 yang dikeluarkan Polda Riau.
Kita sepakat, amat sepakat, bahwa SP3 yang dihadiahkan kepada 15 korporasi tersangka pembakar lahan dan hutan pantas digugat. Terlebih, meski sudah sekian lama dipersoalkan, tak ada tanda-tanda dari Polri untuk meninjau ulang keputusan yang aneh itu.
Karena SP3 merupakan produk hukum, akan lebih pas jika ia digugat lewat koridor hukum. Caranya, publik atau lembaga swadaya masyarakat bisa mempraperadilankan keputusan tersebut. Biarkan nanti pengadilan yang memutuskan sah tidaknya keputusan Polda Riau mengeluarkan SP3.
Selain langkah hukum, kita juga mendukung sepenuhnya langkah politik yang ditempuh Komisi III DPR dengan membentuk panja. Bahkan, bila nantinya panja tak cukup untuk membuat terang perkara tersebut, pembentukan panitia khusus atau pansus bisa dipertimbangkan.
Penghentian penyidikan terhadap kasus kebakaran lahan merupakan masalah sangat serius sehingga harus disikapi dengan sangat serius oleh semua pihak. Berulang kali pula melalui forum ini kita menyuarakan perlunya kemauan luar biasa dari seluruh penegak hukum tanpa kecuali untuk menindak tegas pembakar lahan dan hutan.
Menindak tegas mereka merupakan bagian dari upaya preventif agar kebakaran lahan dan hutan tak berulang. Sebaliknya, jika masih ada aparat yang bermurah hati kepada mereka, ia sejatinya telah melanggar instruksi Presiden Jokowi yang menginginkan penindakan tegas terhadap pembakar hutan baik penindakan administrasi, pidana, maupun perdata. Lebih dari itu, aparat hukum yang memanjakan penjahat lingkungan sejatinya juga penjahat lingkungan. Ia harus ditendang dari barisan penegak hukum.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
