BERPULANGNYA mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew, dua hari lalu, tak hanya mengalirkan simpati dari berbagai penjuru, termasuk Indonesia. Kematian sang 'penulis utama' sejarah negara kota (city state) di ujung selatan Semenanjung Malaka itu juga tidak hanya membuat rakyat Singapura menangis kehilangan. Kepergian Lee Kuan Yew, terutama dalam konteks Indonesia, langsung mencuatkan lagi perdebatan lama tentang mana sebetulnya yang lebih bagus, sistem pemerintahan demokrasi atau otoriter?
Tidak bisa disangkal, selama memimpin, Lee membawa Singapura menjadi negara bergelimang kemakmuran dalam bungkus otoritarianisme amat kental. Demi stabilitas, Lee dengan sesadar-sadarnya mematikan oposisi, memberangus kebebasan berpendapat rakyat. Para penentang dan lawan politiknya dibungkam, bila perlu dipenjarakan. Ia berhasil. Kepercayaan Lee, bahwa kemajuan ekonomi akan tercipta jika stabilitas terjaga dan rakyat ada dalam kendali, terbukti. Rakyat Singapura yang ditekan otoritarianisme tak lantas menjadi beringas karena, secara ekonomi, mereka berhasil hidup sejahtera.
Akan tetapi, itu bukan berarti Indonesia mesti memilih jalan otoriter untuk bisa menyejahterakan dan memakmurkan rakyatnya. Bagaimanapun di negeri ini otoritarianisme tak lagi punya tempat, tidak pula harus diberi kesempatan. Bangsa ini telah bersepakat memilih sistem demokrasi sebagai 'pemandu jalan'. Bagi Indonesia, yang dapat dipetik sebagai pelajaran dari seorang Lee Kuan Yew ialah keteguhan hatinya untuk menjadikan sebuah negara bangkit dari keterpurukan sekaligus membawanya ke puncak kemakmuran.
Lee menggunakan sikap otoriternya untuk bisa fokus menggerakkan sekaligus menumbuhkan ekonomi ke level setinggi-tingginya. Sesungguhnya, menurut seorang ekonom di Singapura, otoritarianisme yang diterapkan Lee ialah otoritarianisme yang menggunakan hati, otoritarianisme yang diimbangi mental bersih tanpa rupa-rupa kepentingan di belakangnya. Di sini, Indonesia justru belum mampu memaksimalkan sistem demokrasi untuk membuat perekonomian bersinar.
Demokrasi hanya dimaknai sebagai kebebasan berpolitik, berpendapat, berserikat, tetapi tanpa mengindahkan tujuan bangsa yang hakiki. Demokrasi kerap melenceng untuk tujuan yang kebablasan pula. Di sini, politiknya terlalu gaduh, terlampau riuh sehingga sering malah menghambat pergerakan ekonomi. Perseteruan Polri-KPK, perebutan kepemimpinan di sejumlah parpol seperti PPP dan Golkar, serta pertikaian Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dengan DPRD DKI, hanyalah contoh terbaru betapa demokratisasi yang dilakukan tanpa hati telah membuat negeri ini senantiasa tersandera oleh kegaduhan. Taruhlah kegaduhan politik tak begitu berdampak bagi pembangunan ekonomi.
Namun, bila negara ini mau mengerem kebisingan politik, bukan tidak mungkin pembangunan melesat lebih cepat. Di sisi lain, kemiskinan tak cepat bisa diselesaikan dan dituntaskan. Korupsi tidak ada habis-habisnya kendati terus dikikis. Kekerasan pun menjadi begitu mudah diumbar di ruang publik. Karena itu, sambil mengenang Lee Kuan Yew, bangsa ini mesti mau berintrospeksi. Bila kita telah sepakat dengan demokratisasi, semestinya pula ia diberdayakan untuk dapat memenuhi harapan publik. Demokrasi yang dibangun harus menggunakan hati dan mengedepankan substansi, bukan demi transaksi, apalagi melanggengkan korupsi. Di negeri ini, demokrasi tak boleh kalah dengan otoritarianisme dalam memajukan ekonomi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di