SUDAH berulang kali peringatan tentang strategisnya Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia didengungkan. Berkali-kali pula ditegaskan bahwa Indonesia negara maritim sehingga peran pelabuhan sangat vital dalam pembangunan ekonomi.
Pelabuhan tidak saja digunakan untuk kegiatan perdagangan antarpulau dan antarnegara, tetapi juga untuk mobilitas manusia dari satu daerah ke daerah lain. Oleh karena itu, keberadaan pelabuhan yang layak, bagus, modern, dan yang dikelola secara efisien mestinya sudah terwujud sejak lama.
Benar bahwa Indonesia memiliki pelabuhan modern, seperti Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Namun, harus diakui bahwa pelabuhan tersebut belum dikelola secara efisien.
Dalam soal waktu sandar, bongkar muat kapal, hingga keluarnya kontainer, misalnya, pelabuhan di Indonesia belum sepenuhnya mengikuti prinsip pelabuhan modern. Lamanya dwelling time telah berdampak pada ongkos yang mahal.
Tidak mengherankan jika World Economic Forum menyebutkan daya saing infrastruktur pelabuhan Indonesia masih rendah. Meski peringkat kualitas pelabuhan Indonesia di 2014-2015 meningkat dari posisi 89 menjadi 77 dalam global competitiveness index, peningkatan itu belum setara dengan kualitas pelabuhan di negara tetangga. Kualitas infrastruktur pelabuhan Indonesia masih lebih rendah jika dibandingkan dengan Thailand di posisi 54, Malaysia di peringkat 19, dan Singapura di rangking 2.
Peringkat itu mencerminkan fakta di lapangan. Saat ini, rata-rata dwelling time di Tanjung Priok masih sekitar 7 hari, dengan waktu sandar 5 hari. Padahal, di pelabuhan-pelabuhan modern di luar negeri, waktu sandar hanya 1,5 hari.
Kondisi tersebut berlangsung bertahun-tahun nyaris tanpa perubahan berarti. Baru ketika Presiden Joko Widodo melakukan inspeksi mendadak di Tanjung Priok, bulan lalu, soal dwelling time menjadi wacana sehari-hari dan diikuti dengan tindakan mencari musabab mengapa praktik yang sudah diketahui itu tak kunjung bisa diakhiri.
Maka, terlepas dari perdebatan soal cara menangani kasus inefisiensi akut itu oleh aparat penegak hukum serta Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli, kita mendukung penuh pembenahan tersebut. Hal yang dilakukan Rizal Ramli dengan membongkar beton penutup rel kereta di Pelabuhan Tanjung Priok, Kamis (10/9) lalu, bisa menjadi langkah awal bahwa pembenahan pelabuhan memang dilakukan dengan sangat serius. Ia menjadi langkah awal untuk menghidupkan kembali transportasi kereta dari dan ke pelabuhan demi mengefisienkan biaya logistik.
Sebagai langkah awal, ia mesti diikuti langkah-langkah konkret berikutnya. Langkah itu di antaranya membawa siapa pun yang 'bermain' di pelabuhan dengan tujuan memburu keuntungan pribadi ke ranah hukum.
Karena itu, menjadi kewajiban bagi penegak hukum untuk terus bergerak menyelidiki kasus dwelling time tanpa menghiraukan tekanan dari pihak mana pun. Rencana DPR untuk membentuk panitia khusus pelabuhan juga patut diteruskan, dengan catatan benar-benar bertujuan memutus mata rantai benalu inefisiensi yang selama ini dibiarkan tumbuh.
Transformasi pelabuhan yang sukses dijalankan di Makassar dan Pelabuhan Teluk Lamong, Surabaya, mestinya menjadi role model pembenahan pelabuhan di seluruh Tanah Air. Di Surabaya, misalnya, sistem online diberlakukan. Juga, kapal yang datang pertama kali, itulah yang lebih dulu dilayani.
Pembenahan pelabuhan merupakan keniscayaan. Itu kalau kita tak ingin terus-menerus memunggungi lautan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di