Penertiban di Puncak
Penertiban di Puncak ()

Penertiban di Puncak

03 Maret 2018 09:45

Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur alias Bopunjur sejatinya merupakan kawasan konservasi air dan tanah. Konservasi kedua sumber daya tersebut bertujuan menjamin tetap berlangsungnya keberadaan air, melindungi kesuburan tanah, juga mencegah erosi dan banjir bagi Bopunjur dan daerah hilir, termasuk DKI Jakarta.

Tidak main-main. Sebagai kawasan konservasi, status Bopunjur pun memiliki kekuatan hukum yang sangat jelas dan tegas. Melalui Keppres Nomor 114 Tahun 1999, pemerintah sudah lama bertekad untuk mengembalikan fungsi kawasan hutan Bopunjur sesuai dengan keppres yang mengatur tentang penataan ruang di wilayah tersebut.

Melalui ketetapan tersebut, Bopunjur semestinya dikelola Perum Perhutani. Namun, faktanya, wilayah tersebut justru dikuasai pihak yang sama sekali tidak berhak. Akibatnya, fungsi kawasan hutan di Bopunjur pun berubah total. Dari kawasan yang diperuntukkan konservasi,

Bopunjur pun berkembang menjadi kawasan rekreasi yang semakin lama semakin mengalami degradasi. Degradasi dalam implementasi tata ruang, degradasi dalam kualitas lingkungan, dan degradasi dalam penegakan hukum atas seluruh pelanggaran yang berlangsung di wilayah tersebut.

Kualitas daya dukung lingkungan di Bopunjur pun semakin lama semakin hancur. Ironisnya, pembiaran terus berlangsung dari era ke era dan rezim ke rezim. Harga yang harus dibayar atas pembiaran berkelanjutan itu pun semakin lama semakin mahal. Bencana demi bencana, khususnya tanah longsor, menerpa kawasan yang menjadi hulu dari kawasan megapolitan.

Jakarta, yang merupakan kawasan hilir dari Bopunjur, pun terkena dampak dari karut-marut persoalan Bopunjur. Banjir yang semakin lama semakin tidak tertanggulangi pun datang silih berganti. Pembiaran di Bopunjur pada akhirnya memakan korban jiwa. Bencana tanah longsor yang terjadi di kawasan Puncak pada Senin, 5 Februari lalu, misalnya, harus merenggut lima korban jiwa.

Belum lagi kerugian materiil yang tidak terhitung nilainya akibat terjadi tanah longsor di sejumlah titik dengan wilayah terparah di Riung Gunung, Cisarua. Bahu jalan ambles dan material tanah dari tebing menutup sebagian bahu jalan. Tanah longsor juga terjadi di sekitar Masjid Atta Awun, Grand Hill, Vila Pengayoman Cibereum, dan sejumlah titik lain di antara wilayah Gunung Mas dan Ciloto, Cianjur.

Karena itu, ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kamis (15/2), melakukan langkah penertiban di wilayah itu, kita sepenuhnya mendukung. KLHK dalam langkah penertiban itu menyegel kawasan hutan lindung di Bogor seluas 368 hektare yang dari rezim ke rezim dikuasai atau dirambah kalangan pengusaha dan perorangan.

Kita sangat sepakat dengan tekad KLHK untuk membuat kawasan hutan seluas 9.200 hektare di Bopunjur bebas dari gangguan perambah hutan, termasuk bangunan dan vila ilegal. Apalagi, langkah penegakan hukum itu sejalan dengan aturan dan telah berkekuatan hukum tetap sesuai dengan Putusan Pengadilan Negeri Cibinong No 133/Pdt.G/2009/PN.Cbn juncto (jo) Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No 396/Pdt/2010 jo Putusan Mahkamah Agung RI No 1635K/PDT/2011.

Sudah saatnya lingkaran setan pelanggaran hukum di Bopunjur diputus. Kita mau KLHK tidak ragu dan tidak takut menertibkan kawasan Bopunjur. Penataan dan penertiban Bopunjur ini harus berjalan paralel dengan penataan di Citarum, juga normalisasi sungai-sungai dan waduk-waduk di Jakarta. Jika itu bisa diwujudkan, kita optimistis kawasan Bopunjur hingga Jakarta akan bebas dari bencana ekologis.


 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase

TERKAIT
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif