Membarterkan Kekuasaan
Membarterkan Kekuasaan ()

Membarterkan Kekuasaan

24 Mei 2017 08:07
Pemimpin memang sebuah titel yang tidak suci dari kegagalan dan kesalahan. Namun, bagaimana jika pemimpin bahkan telah gagal sebelum tugas dijalankan? Lebih parah lagi, kegagalan itu bukan hanya menyangkut orang yang mengemban tugas, melainkan juga dari esensi jabatan itu sendiri. Hal itu disebabkan kursi pemimpin dijadikan sebagai barang barter.
 
Kursi pemimpin sengaja dibuat dan dibagi-bagikan semata untuk memuaskan syahwat kekuasaan dan keuntungan golongan. Lakon menjengahkan itulah yang sedang diperjuangkan para anggota dewan. Dalam hasil kompromi pimpinan fraksi partai politik di DPR, mereka menyepakati bahwa jumlah pemimpin MPR ditambah menjadi total 11 kursi.
 
Kompromi itu terkait dengan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Saat ini pemimpin MPR berjumlah lima orang. Kelimanya kini ditempati Zulkifli Hasan (PAN), EE Mangindaan (Demokrat), Mahyudin (Golkar), Hidayat Nur Wahid (PKS), dan Oesman Sapta Odang (DPD). Penambahan enam kursi berarti semua fraksi lain di DPR akan juga mendapat jatah pemimpin.
 
Tidak hanya itu, kompromi para pemimpin fraksi juga mengusulkan penambahan dua kursi pemimpin DPR menjadi total tujuh kursi. Lalu ada pula usul penambahan dua kursi pemimpin DPD menjadi total lima kursi. Anggota dewan beralasan penambahan kursi yang sesuai dengan jumlah fraksi itu bertujuan mengakhiri buntunya pembahasan revisi Undang-Undang MD3. Dengan penambahan kursi sesuai dengan jumlah fraksi, kepentingan tiap fraksi dianggap telah terakomodasi dan kata sepakat bisa dicapai. Dengan demikian, berkali-kali lagi sah sudah mental barter para anggota dewan. Hanya tukang barter yang baru diam jika mulutnya telah disumpal dengan kekuasaan. Dari segi anggaran, penambahan kursi pemimpin jelas-jelas memperbesar belanja negara. Ironisnya lagi, penambahan itu berarti memelihara bom waktu yang nantinya semakin mencederai lembaga negara tersebut.
 
Bagaimana tidak? Sudah jelas penambahan kursi pemimpin bukan air yang bisa memadamkan api sengketa. Penambahan kursi pemimpin justru bensin yang bisa membuat api makin besar. Pasalnya penambahan kursi pemimpin ialah persetujuan akan ego kekuasaan. Kompromi yang dikatakan terjadi sekarang ini sebenarnya hanya kesejukan sesaat. Di masa yang akan datang, dengan ego yang kini sudah mendapat jalan, konflik akan semakin mudah tercipta.
 
Setiap fraksi akan semakin besar kepala untuk mempertahankan kepentingan golongan dalam pembahasan berbagai program dan undang-undang. Kesepakatan makin akan sulit dicapai karena budaya bobrok barter tadi telah disetujui, bahkan dilegitimasi. Jadi, lembaga perwakilan rakyat ini nantinya harus lebih banyak lagi berkompromi dengan nafsu-nafsu kekuasaan.
 
Ibarat pecandu, dosis untuk menenangkan para anggota dewan yang licik nan oportunis itu pun harus makin besar. Oleh karena itu, sebelum penambahan kursi itu benar disepakati, kita memanggil para anggota dewan yang masih memiliki nurani untuk menolaknya. Para anggota dewan yang masih waras dalam logika semestinya menyadari bahwa air peredam konflik hanyalah langkah menjunjung musyawarah untuk kepentingan rakyat.
 
Ego golongan, mau tidak mau, memang harus ditekan jika tidak ingin kehancuran yang lebih besar. Bukan hanya kehancuran lembaga, melainkan juga kehancuran fraksi dan partai politik karena rakyat benar-benar kehilangan kepercayaan kepada wakil mereka. Di sisi lain, kita juga menaruh harapan besar kepada pemerintah untuk berani menolak usul para anggota dewan itu. Pemerintah harus berani bersikap dalam rapat pembahasan revisi UU tersebut. Ketika kepercayaan rakyat sudah habis pada lembaga perwakilan sendiri, pemerintahlah yang harus memulihkannya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase

TERKAIT
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif