DALAM demokrasi yang dinaungi keadaban, politik menampakkan wajah yang amat mulia, yakni sebagai jalan mencapai kebaikan dan kebahagiaan bersama. Para politikus di alam demokrasi yang beradab pun meyakini sepenuhnya bahwa kekuasaan bisa diraih dan dilepas setiap saat tanpa obsesi dan ketakutan yang berlebihan.
Sebaliknya, dalam demokrasi lemah adab, kekuasaan sangat dikuduskan. Di situ politisi meraih kekuasaan dengan cara apa saja dan menggenggam erat jabatan yang mereka peroleh.Bahkan, jika perlu, dengan jalan mengakali aturan.
Sayangnya, warna demokrasi di Republik ini masih didominasi cara-cara meminggirkan tujuan mulia politik. Berbagai aturan dibuat bukan demi kemaslahatan publik, melainkan lebih didorong kepentingan individu dan kelompok.
Tolak ukur membuat atau merevisi undang-undang, misalnya, bukan lagi pada apakah bermanfaat untuk publik atau tidak, melainkan lebih kepada apakah undang-undang itu mengancam eksistensi diri dan kelompok atau tidak. Itulah potret yang amat gamblang terlihat dari revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang tengah digodok di DPR.
Spirit dalam pembahasan undang-undang yang juga disebut UU Pilkada itu amat kental dengan kepentingan melindungi partai politik ketimbang upaya meningkatkan mutu demokrasi. Bahkan, langkah melindungi partai dilakukan dengan cara menabrak putusan Mahkamah Konstitusi yang merupakan produk tertinggi penafsiran konstitusi.
Putusan MK yang hendak dianulir itu ialah tentang keha rusan bagi anggota legislatif, TNI, Polri, dan pegawai negeri sipil untuk mundur saat mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah. Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDIP, Fraksi Gerindra, Fraksi PKS, dan Fraksi PKB mengusulkan anggota legislatif tidak perlu mundur dari jabatannya saat mendaftar sebagai calon kepala daerah.
Sejumlah fraksi tersebut mengusulkan agar anggota legislatif cukup nonaktif atau cuti dari jabatan setelah ditetapkan sebagai calon kepala daerah, bukan mundur permanen.Dengan begitu, jika anggota legislatif yang bertarung di pilkada itu nantinya kalah, jabatan mereka tidak lenyap.
Alasan pun disusun sedemikian rupa sehingga usul tersebut tampak masuk akal kendati sejatinya sekadar akalakalan. Para pengusul revisi menyebutkan putusan MK soal keharusan mundur tersebut menjadi penghalang bagi kader terbaik partai politik untuk ikut dalam kontestasi pilkada.
Banyak kader terbaik partai yang menjadi anggota legislatif, yang awalnya siap maju di pilkada, kata pengusul revisi, mengurungkan niat karena putusan MK tersebut. Dampaknya pilkada pun kurang gereget karena minim peserta.
Putusan MK ihwal keharusan mundur bagi anggota legislatif, PNS, TNI, dan Polri yang mencalonkan diri dalam pilkada bukan lahir dari ruang kosong. Ia muncul demi membuat dan menjaga agar proses demokrasi makin sehat karena terbebas dari kemungkinan munculnya konflik kepentingan sempit.
Karena itu, upaya merevisi aturan yang merupakan hasil penafsiran tertinggi dari penjaga konstitusi itu harus ditolak.Keharusan menolak juga merupakan bagian dari upaya memberikan ruang lebih lebar bagi anak bangsa yang lain menggunakan hak mereka untuk dipilih sehingga kekuasaan bukan bergilir di antara elite yang itu-itu saja. Dengan begitu, kualitas demokrasi melalui pilkada akan kian meningkat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
