Hujan deras, tanah longsor, dan jiwa melayang. Begitulah rantai kejadian yang kerap berulang di Tanah Air. Begitu sering hingga tidak dapat lagi dianggap musibah semata. Kita pasti paham faktor-faktor penyebab bencana tersebut. Bahkan, faktor-faktor itu telah terpetakan dan terinformasikan dari pusat ke daerah.
Maka, ketika bencana serupa kembali menelan korban, inilah buah dari sikap abai. Kelalaian itu pula yang perlu dipertanyakan dari bencana tanah longsor di Kabupaten Purworejo, baru-baru ini.
Hingga kemarin tercatat 47 korban ditemukan tewas dan 15 orang masih hilang akibat bencana tanah longsor yang terjadi di tiga desa di sana. Seperti yang sudah-sudah, para korban yang selamat menuturkan bencana sebagai peristiwa yang tiba-tiba. Mereka bahkan tidak memiliki kepekaan meski tanda-tanda alam telah banyak muncul, terutama hujan deras yang berlangsung lama.
Seorang warga desa menuturkan kegiatan gotong royong membersihkan jalan tetap berlangsung meski sungai yang melintas di daerah itu telah berubah deras dan membawa lumpur. Hal itu menunjukkan tidak adanya sosialisasi dari pemerintah setempat tentang siaga bencana.
Makin ironis, karena sesungguhnya para pemerintah daerah telah dibekali peta wilayah rawan bencana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Baik peta maupun cara siaga bencana pun dengan mudahnya dapat diakses melalui situs BNPB.
Tidak hanya itu, daerah Purworejo dan Kulonprogo juga telah memiliki peta rawan tanah longsor yang dibuat Universitas Gadjah Mada beberapa tahun lalu.
Beragam peta dan data itulah yang semestinya dapat menjadi 'pagar' dari dampak buruk bencana alam. Korban jiwa dapat dihindari jika saja pemda menggunakan data-data itu sebagai acuan untuk penataan ruang. Pada daerah dengan tingkat kerawanan bencana sangat tinggi, relokasi seharusnya menjadi solusi di awal untuk memghindari puluhan nyawa melayang.
Di sisi lain, kajian berbagai pihak juga semestinya menjadi cara untuk memahami bencana. Dari sini pula bisa lahir berbagai solusi lain yang sesuai dengan kondisi geografis ataupun sosial daerah masing-masing.
Relokasi memang sebenarnya bukan harga mati. Berbagai cara mitigasi ataupun adaptasi dapat ditempuh untuk meminimalkan korban jiwa, termasuk dengan berbagai teknik drainase dan penanaman vegetasi.
Cara seperti itu pula yang sesungguhnya telah dilakukan berbagai negara lain yang juga akrab dengan bencana. Raksasa Asia, Jepang, adalah contoh paling nyata tentang sebuah negara yang mengakrabi alam mereka yang sangat rawan bencana terutama gempa. Kajian dilakukan dan dijadikan acuan agar masyarakat dapat hidup bersinergi dengan alam.
Hal itu pula yang semestinya sudah sejak lama dilakukan bangsa kita. Bencana dan anugerah kerap menjadi dua sisi mata uang dari keunikan alam. Terlebih ancaman bencana tak hanya tanah longsor, tapi juga banjir, gempa, dan tsunami. Sudah saatnya kita menjadi bangsa yang siaga bencana, bukan pasrah bencana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
