Demokrasi meniscayakan adanya kemerdekaan dan/atau kebebasan untuk bersikap, berekspresi, ataupun berpendapat. Akan tetapi, kebebasan bersikap, berekspresi, dan berpendapat yang tanpa batas, cepat atau lambat berpotensi menghancurkan demokrasi itu sendiri. Dalam momentum peringatan hari ulang tahun ke-72 kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kita melihat pesan itu sangat relevan untuk kita tekankan.
Ada gejala demokrasi di negeri ini dipraktikkan dengan cara, ukuran, dan skala yang berlebihan. Kondisi itu, kita amati, berlangsung sejak era reformasi 1997/1998 dan terus berjalan dengan intensitas dan bobot yang semakin lama semakin merisaukan. Dalam sebuah simposium nasional di Jakarta, Senin (14/8), Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan sejumlah tokoh nasional bahkan telah melihat sejumlah gejala yang menunjukkan betapa demokrasi yang kita praktikkan ternyata sudah mengarah pada demokrasi liberal.
Indikatornya, kebebasan berpendapat di muka umum, kebebasan berekspresi, freedom of speech sudah dipraktikkan secara terbuka, tanpa batas-batas yang mengacu pada kepatutan, kepantasan, dan nilai-nilai yang dimiliki bangsa ini. Kita pun sependapat dengan apa yang disampaikan Kapolri. Hari-hari ini, dengan mudah kita mendapatkan fakta betapa kebebasan bersikap, berekspresi, dan berpendapat yang dipraktikkan jauh lebih banyak menghasilkan kegaduhan, kebencian, dan permusuhan daripada konsensus ataupun gagasan-gagasan konstruktif dan produktif yang menciptakan kemajuan, kedamaian, dan keharmonisan.
Media sosial, misalnya, telah menjadi ajang untuk saling mencaci, memaki, merundung, dan memfitnah. Atas nama hak bersikap, kemerdekaan berekspresi, atau kebebasan berpendapat, semua merasa benar ketika melakukan perundungan, agitasi, provokasi, dan bahkan pelanggaran hukum di ruang publik.
Kita melihat kini ada gejala individu seperti merasa merdeka dan bahkan terlalu merdeka untuk melakukan apa pun, di mana pun, serta kepada siapa pun. Sikap semacam itu ironisnya bukan hanya dipraktikkan di level individu, melain-kan juga dalam level kelompok, masyarakat, atau bahkan wilayah.
Dalam skala wilayah, kita dapat melihat sikap dan praktik ‘terlalu merdeka’ tersebut dalam penerapan kebijakan otonomi daerah. Dengan dasar otonomi, atau hak untuk mengatur wilayah sendiri, pemerintah daerah merasa memiliki kemerdekaan sepenuhnya untuk menerapkan kebijakan yang sama sekali berbeda atau bahkan bertentangan dengan kebijakan yang diambil pemerintah pusat.
Jangan heran bila koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah pun tidak terjalin dengan baik. Diskontinuitas kebijakan dari pusat ke daerah pun terjadi akibat sikap terlalu merdeka dari praktik otonomi daerah yang kebablasan tersebut. Karena itu, kita mendukung imbauan Presiden Ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dalam sebuah forum di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, kemarin, agar kebijakan otonomi daerah dievaluasi.
Sikap, pendapat, dan ekspresi yang terlalu merdeka baik dalam level individu, masyarakat, maupun wilayah memang tidak boleh dibiarkan. Selain tidak sesuai dengan filosofi bangsa, Pancasila, praktik semacam itu mengancam keberlangsungan demokrasi dan kemerdekaan hakiki.
Cek Berita dan Artikel yang lain di