Korupsi di negeri ini dikenal memiliki akar yang luar biasa kuat. Karena itu, korupsi amat sulit ditumbangkan. Apalagi kalau menumbangkannya dilakukan dengan cara-cara biasa. Cara keras seperti operasi tangkap tangan (OTT) pun tak membuat para pelakunya ciut nyali.
Terlebih bila melihat fakta bahwa rata-rata vonis hukuman bagi terdakwa korupsi ternyata sangat rendah. Akhir tahun lalu, Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis catatan rata-rata vonis hakim dalam kasus korupsi sepanjang 2016 hanya 26 bulan penjara. Itu kurang lebih hanya 1/8 dari hukuman maksimal. Tak ada efek jera sama sekali.
Ketika cara keras tak efektif, muncul banyak dorongan agar efek jera dihadirkan lewat pemberatan sanksi sosial dan moral. Apa pun caranya, biar mereka jera, koruptor mesti dipermalukan. Bila perlu, dikucilkan. Bagus lagi dimiskinkan.
Namun, rupanya mempermalukan koruptor juga tak mudah. Meskipun KPK sudah menerapkan metode pemborgolan dan keharusan memakai baju tahanan, mereka masih saja berani cengengesan, bahkan petantang-petenteng di depan kamera televisi. Mereka juga tak malu melambaikan tangan ke arah kenalan atau bahkan pendukung.
Karena itu, sudah sepatutnya publik menawarkan alternatif-alternatif cara untuk melawan perilaku koruptif yang sudah mengakar itu. Salah satu yang menarik dan perlu dikaji metodenya ialah usul untuk mencabut gelar akademik atau ijazah perguruan tinggi para koruptor.
Tak bisa dibantah, mayoritas pejabat atau pihak ketiga yang selama ini terbukti terlibat praktik korupsi dan suap ialah berasal dari kalangan berpendidikan tinggi. Koruptor bergelar doktor dan profesor pun ada, bahkan boleh dikatakan banyak. Mereka terdidik dan mestinya menjadi anutan. Akan tetapi, mereka rela menggadaikan integritas karena tak mampu menahan goda racun korupsi.
Jika dilihat dari sisi akademisi, hukuman pencabutan ijazah boleh jadi dianggap hukuman sadis. Mungkin itulah hukuman paling berat sekaligus paling memalukan di dunia pendidikan. Namun, coba kita renungkan, bukankah menggarong uang rakyat juga sebuah tindakan yang tak kalah sadis? Bukankah mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya itu sangat tidak mencerminkan perilaku intelektual? Yang sadis harus dilawan dengan yang sadis, itu baru impas.
Mencabut ijazah atau gelar akademik berarti membatasi ruang hidup koruptor, bukan saja secara ekonomi, melainkan juga secara politik. Secara ekonomi, tanpa ijazah, orang terhalangi keleluasaannya memperoleh pekerjaan. Secara politik, kemungkinan kapitalisasi gelar akademik untuk memperoleh jabatan politik tereduksi. Dengan begitu, pencabutan ijazah atau gelar akademik kiranya bisa menghadirkan efek jera.
Sejumlah pihak menyarankan pencabutan gelar akademik terhadap koruptor mesti didukung pemerintah dan penegak hukum. Aturan pencabutan ijazah itu dimasukkan lewat revisi Pasal 10 KUHP yang mengatur tentang pencabutan hak politik bagi koruptor. Artinya, lewat pintu itu, hakim bisa saja memberikan vonis pencabutan gelar akademik selain pencabutan hak politik terdakwa korupsi.
Usul lainnya ialah pencabutan gelar akademik dilakukan pihak kampus kepada alumni mereka yang terbukti terlibat korupsi. KPK beberapa tahun silam pernah mengusulkan agar kampus membuat pakta integritas yang mewajibkan alumni mengembalikan ijazah kepada kampus jika terbukti korupsi.
Saat itu wacana tersebut banyak menuai pujian karena bagaimanapun, kampus harus dijauhkan dari perilaku-perilaku menyimpang dan tercela. Harus diingat bahwa perguruan tinggi bukan sekadar tempat menuntut ilmu, melainkan juga menyandang fungsi yang terkait dengan pembentukan karakter bangsa.
Dalam UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan, salah satu fungsi perguruan tinggi ialah 'mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa'.
Namun, harus diakui, hingga saat ini belum banyak kampus yang menerapkan pencabutan gelar akademik buat alumni koruptor. Itu yang mesti kita dorong terus menjadi sebuah gerakan masif. Sudah saatnya kampus menjadi lokomotif pergerakan dalam peperangan kita melawan korupsi.
