Akibat Ugal-ugalan Menyerap Anggaran
Akibat Ugal-ugalan Menyerap Anggaran ()

Akibat Ugal-ugalan Menyerap Anggaran

07 Mei 2016 09:24

ANGIN sejuk perekonomian berhenti berembus di awal-awal tahun ini dengan kembali melambatnya laju pertumbuhan ekonomi.

Sepanjang triwulan I 2016, menurut data Badan Pusat Statistik yang dirilis Rabu (4/5), perekonomian hanya mampu tumbuh 4,92%.

Padahal, banyak kalangan meyakini perekonomian bakal tumbuh di kisaran 5%.

Angka itu melanjutkan tingkat pertumbuhan 5,04% yang ditorehkan pada triwulan IV 2015.

Itu artinya pertumbuhan ekonomi kita meleset, bukannya melesat, dari prediksi.

Beberapa persoalan dituding menjadi biang kerok perlambatan, mulai suku bunga kredit yang masih tinggi, pergeseran masa panen padi akibat kekeringan, hingga pertumbuhan ekspor yang mandek.

Namun, ada satu yang patut digarisbawahi dan menjadi peringatan bagi pemerintah.

Persoalan klasik rendahnya serapan belanja pemerintah lagi-lagi menjadi ganjalan pertumbuhan ekonomi.

Memang, jika dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun lalu, ada sedikit kenaikan laju pertumbuhan ekonomi.

Nilai konsumsi pemerintah sebagai salah satu komponen pembentuk pertumbuhan naik sekitar Rp20 triliun, menjadi Rp200,3 triliun.

Namun, bila dibandingkan dengan triwulan IV 2015, angka konsumsi pemerintah pada tiga bulan pertama tahun ini jauh lebih rendah, dengan selisih mencapai Rp198,1 triliun.

Masalah serapan belanja yang amat lambat di awal tahun hingga harus dikebut ugal-ugalan pada akhir tahun sampai kini belum terpecahkan.

Dalam perekonomian Indonesia, pemerintah dapat diibaratkan sebagai instruktur senam aerobik.

Gerak yang lambat dalam mengeksekusi belanja pemerintah direspons dengan penundaan investasi di sektor riil. Pengusaha juga cenderung menahan diri dalam menambah barang modal.

Keadaan tersebut tergambar dari survei indeks tendensi bisnis yang dipublikasikan BPS.

Pada triwulan I tahun ini, pelaku bisnis lebih pesimistis ketimbang triwulan sebelumnya.

Sesuai dengan irama tradisi penyerapan belanja pemerintah, para pelaku bisnis menyatakan lebih optimistis memandang kondisi bisnis di triwulan II yang berakhir pada Juni mendatang.

Sebaliknya, secara umum, konsumen cukup optimistis terhadap kondisi perekonomian mereka di triwulan I 2016.

Optimisme tersebut tidak pelak dipengaruhi perkembangan ekonomi nasional menjelang akhir tahun.

Gerak pembangunan yang terlihat lebih pesat menjadi katalisnya.

Itu pula yang membuat para ekonom cukup kompak memprediksi pertumbuhan ekonomi triwulan I akan bertahan di angka 5%.

Kenyataannya, irama pembangunan menjelang tutup tahun tidak dapat dipertahankan di awal-awal tahun ini.

Tentu, jika hanya mengandalkan optimisme, roda penggerak ekonomi tidak akan bisa terpacu.

Perlu aksi dorong yang benar-benar nyata.

Presiden Joko Widodo harus mengakui jargon 'kerja, kerja, kerja' belum tampak realisasinya dalam memperbaiki pola serapan belanja pemerintah.

Sindiran dan teguran Presiden boleh dibilang hanya dianggap angin lalu oleh kementerian/lembaga yang lambat bekerja.

Jika itu terus berlangsung, derap pembangunan tidak cukup cepat untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan.

Pemerataan kesejahteraan ekonomi juga dipastikan bakal berjalan lambat. Cita-cita Indonesia menjadi negara maju tetap akan jadi bunga tidur.


 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase

TERKAIT
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif