DEMOKRASI ialah sarana, bukan tujuan bernegara. Tujuan bernegara ialah keadilan sosial. Dengan begitu, demokrasi ialah wahana untuk menggapai keadilan sosial. Terang benderang demokrasi semestinya menjadi wahana untuk mencapai kebaikan. Akan tetapi, demokrasi acap disalahartikan, juga disalahgunakan. Demokrasi tak jarang diartikan bahwa orang bebas melakukan apa saja. Demokrasi kerap dipakai untuk memproduksi keburukan.
Penyalahartian dan penyalahgunaan semacam itulah yang kemudian menghadirkan radikalisme, fundamentalisme, terorisme, sektarianisme, juga liberalisme di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, termasuk Indonesia. Itulah yang oleh Presiden Joko Widodo disebut demokrasi kebablasan.
"Demokrasi kita sudah kebablasan dan praktik politik demokrasi kita membuka peluang bagi praktik politik ekstrem seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, dan terorisme serta ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ideologi Pancasila," ujar Presiden dalam Pengukuhan Pengurus DPP Partai Hanura Periode 2016-2020 di Bogor, Jawa Barat, Rabu (22/2).
Presiden tidak berlebihan. Fakta belakangan ini memamerkan itu semua. Kita menyaksikan isme-isme yang dicap buruk dan kelewatan itu. Tentu saja bukan demokrasi yang salah. Bila kita menempatkan demokrasi dalam posisi bersalah, di situlah muncul keinginan untuk mengganti sistem demokrasi dengan sistem lain. Yang salah jelas mereka yang menyalahartikan dan menyalahgunakan demokrasi.
Mereka ialah para pembajak demokrasi. Mereka menggunakan demokrasi untuk mencederai bahkan merusak demokrasi itu sendiri. Para pembajak ini memang melancarkan isme-isme tersebut untuk merusak demokrasi. Ketika demokrasi hancur, mereka segera menggantinya dengan isme-isme tadi. Benar ketika Presiden Jokowi menyerukan rule of law untuk mengerem dan menghentikan kebablasan demokrasi.
Penegakan hukum punya dua fungsi. Pertama, rule of law bermakna penegakan hukum untuk melindungi masyarakat dan menjaga tertib sosial. Negara harus tegak lurus menindak para pembajak demokrasi. Bukankah radikalisme atau fundamentalisme dalam tingkat tertentu, apalagi terorisme, ialah pelanggaran hukum yang harus ditindak karena jelas-jelas merusak tertib sosial dan mengorbankan rakyat?
Kedua, rule of law berfungsi mengonsolidasikan, melembagakan, atau meneguhkan demokrasi. Literatur ilmu politik menyebut rule of law beserta masyarakat sipil, masyarakat politik, masyarakat ekonomi, dan aparat negara sebagai arena konsolidasi demokrasi. Indonesia telah bergerak dari sistem otoritarianisme Orde Baru ke sistem demokrasi Orde Reformasi.
Kita sudah sampai pada point of no return, titik yang tidak mungkin kita kembali ke belakang. Kita tidak boleh kembali ke sistem otoriter. Radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, dan terorisme merupakan cikal bakal pemerintahan otoriter. Kita harus maju menjadi negara demokrasi sesungguhnya, demokrasi sebenar-benarnya. Namun, majunya demokrasi juga tak boleh kelewatan, kebablasan.
Liberalisme ialah bentuk demokrasi yang kelewatan, berlebihan, kebablasan, dan karena itu harus ditolak. Sekali lagi, rule of law menjadi salah satu arena mengerem dan menyetop demokrasi yang kebablasan sehingga Indonesia menjadi negara demokrasi sesungguhnya demi terwujudnya keadilan sosial.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
