KITA prihatin hampir dalam segala bidang etika ditabrak sehingga orang tidak mengetahui lagi mana yang patut dan mana yang tidak. Lebih memprihatinkan lagi, etika tak dijunjung, terutama di tangan pemangku kekuasaan.
Etika sudah sepatutnya mendapat tempat terhormat, terutama di kalangan pemangku kekuasaan. Di sanalah potensi pelanggaran etika terbuka luas. Pelanggaran etika yang dilakukan Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat semakin membuktikan persoalan patut dan tidak patut belumlah tuntas. Dewan Etik Mahkamah Konstitusi menjatuhkan hukuman ringan kepada Arief Hidayat.
Ia dihukum karena diduga memberikan memo kepada mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Widyo Pramono. Dengan tulisan tangan, Arief menulis selembar memo di atas kertas berkop Mahkamah Konstitusi sebagai katebelece kepada JAM-Pidsus pada April 2015.
Salah satu isinya, dia meminta Widyo memberikan perlakuan khusus kepada jaksa di Kejaksaan Negeri Trenggalek, Muhammad Zainur Rochman. Arief menuliskan Zainur ialah salah satu kerabatnya.
Dewan Etik yang dipimpin Abdul Mukthie Fadjar dengan anggota Hatta Mustafa dan Muchammad Zaidun menyatakan Arief terbukti melanggar kode etik butir ke-8 soal kepantasan dan kesopanan sebagai hakim konstitusi, dengan sanksi teguran lisan.
Kita mengapresiasi Mahkamah Konstitusi yang tidak memetieskan kasus etik yang melibatkan ketuanya. Bahkan, putusan Dewan Etik dipublikasikan secara terbuka. Pada saat bersamaan, kita terperanjat bagaimana mungkin seorang petinggi lembaga yang bertanggung jawab mengawal sumber dari sumber hukum di negeri ini dapat melakukan tindakan menabrak etika.
Meskipun bukan pelanggaran hukum, tindakan Arief menulis memo untuk membantu kerabatnya itu harus tetap kita nyatakan sungguh tak patut. Ini kita tekankan benar karena ekspektasi kita terhadap standar etika dan moral hakim konstitusi jelas sangat tinggi.
Sebagai hakim konstitusi sekaligus Ketua MK, Arief semestinya menerapkan standar etika dan moral pada level yang kita harapkan. Dengan posisi itu, Arief sudah semestinya selesai dengan persoalan terkait kepatutan dan kepantasan.
Akan tetapi, nyatanya tidak demikian. Seorang Ketua MK, sekali lagi, terpeleset dalam sebuah situasi ketika ia justru diharapkan menjadi teladan.
Pelanggaran Arief Hidayat, jika dibandingkan dengan yang pernah dilakukan Ketua MK Akil Mochtar, memang jauh lebih ringan. Akil tercatat bukan saja melanggar etika, melainkan juga sudah melanggar hukum secara hitam putih.
Dalam masyarakat yang tidak beretika, kebenaran diserahkan sepenuhnya pada wilayah yuridis. Karena itu, kita sepakat dengan pandangan bahwa tindakan Arief menulis katebelece itu dapat dikategorikan sebagai praktik memperdagangkan pengaruh jabatan atau trading in influence.
Tidak baik pemangku kekuasaan yang gemar memperdagangkan pengaruh berlama-lama dalam posisinya. Kegemaran itu bisa menjadi virus yang mengkhawatirkan. Karena itu, standar etika hakim kita, apalagi hakim MK, harus terus dikawal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
