TUMPANG-TINDIH aturan dan minimnya koordinasi bisa menjadi petaka dalam pengelolaan negara. Celakanya, kedua hal itu pula yang telah lama berpadu dalam proyek reklamasi pantai utara Jakarta. Tak mengherankan jika potret reklamasi hari ini ialah megaproyek yang serba kusut.
Banyak aturan mengatur reklamasi. Ada tiga keputusan presiden atau keppres. Ada juga peraturan daerah atau perda. Ada pula peraturan pemerintah plus aturan setingkat undang-undang. Tumpang-tindih diperparah tafsir yang berbeda-beda, bahkan perbedaan itu seperti bumi dan langit.
Celakanya, pejabat dan lembaga berwenang juga jalan sendiri-sendiri, tiada koordinasi. Mereka menggunakan aturan yang dianggap sesuai dengan peran dan fungsi mereka. Aneh bin ajaib, entitas yang sama-sama bernama pemerintah, yakni Pemprov DKI, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan, seperti tidak bisa duduk bersama menyamakan visi tentang reklamasi.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berkukuh dengan menggunakan Perda Nomor 8 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara yang merupakan turunan dari keputusan presiden di tahun yang sama, yakni Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Keputusan Presiden Nomor 73 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Kapuk Naga Tangerang, yang intinya melegitimasi proyek reklamasi.
Di sisi lain, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Ling kungan Hidup dan Kehu tanan berpegang pada UU No 27/2007 tentang Penge lolaan Pesisir dan Pulau-Pu lau Kecil, yang kemudian dipertegas lagi dengan UU No 1/2014, yang pada intinya mengamanatkan keikutser taan ke men terian terkait dalam pembahasan proyek reklamasi.
wilayah teluknya, bukanlah Selain itu, Jakarta, termasuk wilayah teluknya, bukanlah sebuah wilayah yang berada dalam kewenangan gubernur semata. Itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, bahwa kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional.
Sebagai kawasan strategis nasional, penataan ruang wilayah-wilayah itu harus dengan izin menteri. Hal itu tertuang dalam Pasal 16 ayat 2 Perpres 122/2012 tentang Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang menyebutkan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada kawasan strategis nasional tertentu menjadi kewenangan menteri.
Anehnya, tumpang-tindih dan absennya koordinasi di kalangan pemerintah baru bikin kebakaran jenggot setelah terungkapnya kasus korupsi Raperda Zonasi dan Tata Ruang.Ia seperti dibiarkan bertahun-tahun dan baru dicium dan dimuntahkan pada saat yang tepat. Semua baru terhenyak ketika sebagian proses reklamasi sudah berlangsung sejak bertahun-tahun silam.
Ketika tidak ada kejelasan aturan, moratorium yang disepakati Pemprov DKI dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan, Senin (17/4), mungkin sebuah langkah tepat. Akan tetapi, yang namanya moratorium ialah menghentikan sementara, bukan menyetop selamanya. Oleh karena itu, kita berharap komite bersama yang telah dibentuk harus bekerja cepat untuk menyelaraskan berbagai aturan yang tumpang-tindih itu.
Moratorium ibarat menghentikan sementara laju kereta reklamasi untuk kemudian segera menariknya kembali ke rel yang benar. Dengan begitu, reklamasi, seperti diharapkan Menko Maritim Rizal Ramli, akan membawa maslahat buat negara, rakyat, juga swasta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di