MENEMPATKAN orang dekat dan menyingkirkan yang tidak sependapat menjadi kecenderungan lazim di kalangan kepala daerah terpilih pascapelantikan.
Melalui mutasi pejabat lama dan penempatan pejabat baru, kepala daerah berharap pemerintahannya dapat berjalan sesuai dengan yang ia harapkan.
Itu artinya kepala daerah terpilih berpikiran pejabat yang tidak mendukungnya saat pilkada bakal menghambat jalannya roda pemerintahan daerah. Sebaliknya, kepala daerah menganggap birokrat daerah yang mendukungnya sewaktu pilkada bakal memuluskan mesin pemerintahan daerah.
Pengangkatan pejabat baru merupakan reward atau balas jasa atas dukungan kepada kepala daerah ketika pilkada.Mutasi bahkan pemecatan merupakan punishment atau balas dendam atas dukungan kepada calon lain selain sang kepala daerah terpilih.
Akan tetapi, kecenderungan seperti itu tidak lagi dapat dilakukan semena-mena oleh kepala daerah hasil pilkada serentak 9 Desember 2015 begitu ia selesai dilantik. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada dengan gamblang dan tegas melarang mereka melakukan hal itu.
Pasal 162 undang-undang tersebut menggariskan bahwa kepala daerah tidak boleh mengganti pejabat selama enam bulan setelah ia dilantik. Bukan hanya itu, Pasal 119 dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara juga melarang kepala daerah terpilih mengganti jabatan pimpinan tinggi birokrasi, yakni kepala badan, dinas, dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) sebelum pejabat itu memasuki masa dua tahun jabatan.
Benar bahwa ada pengecualian dalam ketentuan tersebut, tetapi itu berlaku hanya jika kinerja pejabat yang bersangkutan luar biasa buruk.
Larangan mutasi itu juga dilengkapi dengan sanksi.t memutasi pejabat tidak se Kepala daerah baru yang nekat memutasi pejabat tidak sesuai dengan aturan perundangan tersebut diancam sanksi pemberhentian.
Ketentuan itu pun secara gamblang tertuang dalam UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 78 ayat 2. Dalam kaitan itu, menteri dalam negeri dapat mengeluarkan sanksi berupa pemberhentian sementara kepala daerah yang terbukti melakukan rotasi atau mutasi pejabat tanpa mengindahkan aturan tersebut.
Larangan ganti-mengganti pejabat di daerah pascapelantikan dengan ketentuan itu mutlak harus ditaati. Kita mendukung pelaksanaan ketentuan tersebut.
Dengan aturan itu, semangat balas dendam kepala daerah kepada aparat birokrasi di daerah yang dinilai tidak berpihak kepadanya selama pilkada dapat dibatasi. Melalui aturan itu pula, kepentingan kepala daerah baru untuk balas budi atau balas jasa dapat diredam.
Spirit membalas budi dan membalas dendam buruk bagi jalannya pemerintahan. Birokrat dan para pegawai negeri sipil merupakan abdi rakyat, negara, dan bangsa. Mereka bukan hamba dan budak kepala daerah.
Balas budi dan balas dendam kepada mereka dilarang.Penempatan birokrat di posisi tertentu tidak boleh atas dasar like and dislike sang kepala daerah pemenang pilkada, tetapi atas dasar kinerja dan prestasi mereka melayani rakyat.Yang terbaik diapresiasi atau dipromosikan. Yang buruk dan korup diganjar demosi atau pemecatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di