HAL yang palsu-palsu tampaknya makin akrab di tengah masyarakat kita. Sempat ada kasus beras palsu, kemudian merebak ijazah palsu, dan kali ini negara sibuk menangani kasus vaksin palsu.
Lebih dari 28 sarana kesehatan di Tanah Air, baik klinik maupun rumah sakit kecil, terindikasi menggunakan vaksin palsu untuk mencegah campak, BCG, tetanus, dan hepatitis. Badan Reserse dan Kriminal Polri telah memegang data atas pengakuan para tersangka.
Mereka pun intensif memeriksa sampel vaksin dari sarana pelayanan kesehatan yang terindikasi tersebut. Melalui satuan tugas penanganan vaksin palsu yang beranggotakan Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM), ada keinginan untuk mengungkap praktik busuk tersebut seterang-terangnya.
Namun, dengan alasan kepentingan penyidikan, kepolisian masih enggan membuka identitas sarana kesehatan yang menggunakan vaksin palsu. Padahal, publik, terutama para orangtua, jelas ingin tahu apakah anak-anak mereka telanjur divaksinasi dengan vaksin abal-abal. Pengungkapan identitas rumah sakit dan klinik yang menggunakan vaksin palsu ialah rujukan apakah anak-anak mendapatkan vaksin asli atau palsu.
Kita paham penyidik masih menutupi identitas sarana kesehatan pengguna vaksin palsu itu dengan dalih untuk pengembangan penyidikan. Namun, terus menutup rapat-rapat identitas mereka bukanlah langkah yang bijak bahkan bisa menimbulkan prasangka buruk.
Pemalsuan vaksin berdampak luas karena dapat menimbulkan perlindungan palsu, penerima seolah-olah sudah terlindungi. Jumlahnya juga tidak sedikit. Badan POM memprediksi cakupan peredaran vaksin palsu tersebut sekitar 1%. Dengan angka kelahiran bayi di Indonesia yang pada 2015 sebesar 4,9 juta dan data Kemenkes atas cakupan imunisasi dasar lengkap (IDL) pada balita yang mencapai angka 86,8% pada April 2015, sekitar 42 ribu bayi divaksin palsu per tahun sejak 2003.
Pemalsuan vaksin dilakukan sejak 13 tahun lalu dengan motif keuntungan semata. Sanksi berat yang setimpal dengan keuntungan yang telah dinikmati para pihak yang membahayakan masa depan bangsa kita patut diberikan.
Kita mengharapkan respons cepat, tepat, dan solutif dari pemerintah. Penegak hukum pun mesti meyakinkan publik bahwa siapa pun yang bersalah dalam kasus vaksin palsu akan mempertanggungjawabkan perbuatan secara hukum.
Tidak hanya jaringan produsen dan distributornya, tenaga medis ataupun pengelola sarana kesehatan yang mengetahui dan menggunakannya secara sengaja pantang lepas dari jerat sanksi. Bahkan, tak ada salahnya penegak hukum mulai menelusuri kemungkinan praktik korupsi dalam perkara tersebut. Kesan amat kuat adanya pembiaran sehingga vaksin palsu leluasa disuntikkan ke anak-anak bisa menjadi indikasi awal adanya penyalahgunaan wewenang pihak-pihak yang berwenang.
Kasus vaksin palsu yang mengemuka belakangan ialah bukti betapa pengawasan amat lemah di negeri ini. Badan POM lemah, Kementerian Kesehatan lemah, anak-anak yang mendapatkan vaksin palsu pun menjadi lemah.
Peredaran vaksin palsu bukan saja merupakan serangan terhadap kesehatan bayi dan anak-anak, melainkan juga terhadap masa depan generasi bangsa. Penegakan hukum tanpa pandang bulu untuk membuat kasus tersebut terang benderang ialah keniscayaan karena kita tidak ingin bangsa ini tumbuh dengan fondasi yang palsu-palsu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
