PEMBANGUNAN infrastruktur, tak bisa dibantah, telah menjadi identifikasi paling nyata dari pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Pembangunan jalan tol terus dihelat, proyek jaringan kereta baik ringan maupun cepat semakin laju digenjot, pengembangan bandara dan pelabuhan digeber, dan pembangunan sejumlah proyek infrastruktur lain tak kalah agresif.
Semestinya itu menjadi nilai plus buat pemerintah saat ini karena infrastruktur sejatinya merupakan kunci perekonomian. Infrastruktur ialah salah satu jalan utama untuk meningkatkan level dan kapasitas ekonomi nasional. Bila kuat, ia akan menopang ekonomi. Sebaliknya, kalau infrastruktur loyo, perekonomian tak dapat sokongan efisiensi.
Bisa apa Republik ini kalau tak memiliki perekonomian yang kuat? Namun, belakangan sorotan terhadap infrastruktur menjadi bias akibat rentetan kecelakaan konstruksi yang menyertai pembangunannya. Impaknya tidak sederhana. Di tataran publik, narasi tentang dampak positif pembangunan infrastruktur pun kini mulai teralihkan oleh ketakutan-ketakutan akibat risiko pembangunan yang memakan korban serta keraguan terhadap kualitas infrastruktur yang dihasilkan.
Ada 13 insiden kecelakaan konstruksi infrastruktur yang kita catat selama periode Agustus 2017 hingga Februari 2018. Jumlah itu tentu tak bisa dianggap main-main. Terakhir, kemarin, bekisting pierhead pada proyek pembangunan ruas Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) jatuh dan melukai tujuh pekerja.
Di era yang katanya menjunjung tinggi sistem kerja zero accident serta kualitas hasil kerja yang mumpuni, 13 kecelakaan dalam tujuh bulan ialah angka yang tidak bisa dianggap kecil. Apa pun alasannya, seharusnya tak boleh ada toleransi untuk itu. Akan fatal akibatnya bila disepelekan karena sangat mungkin kesembronoan itu akan mengakibatkan lebih banyak lagi korban berjatuhan, baik pekerja maupun masyarakat sebagai pengguna infrastruktur.
Karena itu, kiranya sudah tepat langkah pemerintah pascakejadian Becakayu, yakni menghentikan sementara seluruh proyek konstruksi jalan layang (elevated) yang tengah berjalan di Indonesia. Yang harus kita ingatkan ialah agar moratorium itu betul-betul dimanfaatkan secara efektif untuk mengaudit seluruh dokumen, metode, sistem, ataupun hasil kerja pembangunan infrastruktur terkini. Jangan pula setelah moratorium selesai, kejadian sama terulang.
Presiden Jokowi pun sudah memerintahkan untuk mengaudit proyek-proyek yang sedang berjalan. Perintah itu sesuai dengan rekomendasi Bank Dunia dalam laporan evaluasi Infrastruktur Global (2017) yang menyatakan setiap proyek infrastruktur wajib melakukan evaluasi dan audit konstruksi secara reguler.
Apalagi, infrastruktur di dunia ketiga yang dicirikan dengan minimnya teknologi dan pemahaman baik atas berbagai potensi bencana alam. Evaluasi dan investigasi perlu dilakukan untuk memastikan kecelakaan-kecelakaan konstruksi tak bakal terjadi lagi di masa mendatang.
Audit menyeluruh juga mesti digelar untuk menghindarkan pembangunan infrastruktur dari pola pikir pedagang, yakni hanya mementingkan kalkulasi bisnis dan investasi tanpa mengindahkan soal lain.
Dari kacamata lain, audit infrastruktur juga dibutuhkan pemerintah saat ini untuk menepis sebagian anggapan bahwa pembangunan infrastruktur di era Jokowi yang menghabiskan ribuan triliun rupiah itu hanya asal cepat, asal selesai untuk mengejar target kuantitas sebelum masa pemerintahan berakhir. Ini saatnya membuktikan agresivitas membangun tak berarti harus mengorbankan keselamatan dan kualitas kerja.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
