Editorial Media Indonesia
Editorial Media Indonesia ()

Lebaran Kebangsaan

26 Juni 2017 07:20
LEBARAN selalu menjadi momentum istimewa. Disebut istimewa karena inilah waktu yang tepat untuk menjalin silaturahim, bergandengan tangan, dan saling memaafkan.
 
Momentum istimewa itu datang setelah umat Islam berhasil meraih nilai keutamaan dan kemuliaan ibadah selama puasa sebulan penuh. Puasa mengajarkan pentingnya kontrol diri dan terbuka mengoreksi kesalahan demi kehidupan bersama yang damai.
 
Harus jujur diakui, praktik politik terutama Pilkada DKI Jakarta telah mengoyak dan merobek tenun kebangsaan. Perbedaan pilihan politik malah mempertegas pengelompokan antara kami dan mereka. Perbedaan itulah yang kini didekatkan saat merayakan Idul Fitri, apa pun pilihan politik kita tetap satu bangsa. Lebaran kali ini dan seterusnya hendaknya menjadi Lebaran Kebangsaan.
 
Kedamaian selama Ramadan semestinya semakin mengukuhkan dan mengokohkan komitmen untuk menghentikan tindakan reaksioner tanpa menggunakan akal sehat. Ragam reaksi tanpa akal sehat yang ditemui di ruang publik seperti kafir-mengagirkan, ujaran kebencian di dunia media sosial yang sangat mengganggu persaudaraan, serta tindakan intimidasi seperti persekusi. Tindakan reaksioner tanpa menggunakan akal sehat berpangkal pada tabiat menihilkan keragaman dan perbedaan, termasuk terkait pilihan politik. Padahal, keragaman dan perbedaan adalah keniscayaan. Idul Fitri semestinya juga mengantarkan masyarakat terus mempertahankan kesucian dan keragamannya.
 
Pesan Idul Fitri terkait keragaman dan perbedaan itulah yang menjadi inti khotbah yang disampaikan Quraish Shihab dalam kutbah Idul Fitri di Masjid Istiqlal, Minggu (25/6).
 
Di hadapan Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Ibu Mufidah Jusuf Kalla serta sejumlah menteri Kabinet Kerja dan kepala lembaga negara, Quraish Shihab mengatakan bahwa cinta tanah air adalah manifestasi dan dampak keimanan. Demikian pula persatuan dan kesatuan adalah anugerah Tuhan yang tidak ternilai dan tak semestinya dicabik-cabik.
 
Keragaman dan perbedaan juga disoroti Profesor Jimly Asshiddiqie saat menyampaikan kutbah Idul Fitri di Masjid Nursiah Daud Paloh, Kedoya. Ia mengatakan kita ditakdirkan Tuhan menjadi bangsa sangat majemuk, paling majemuk di dunia.
 
Tantangan yang harus dijawab bangsa ini ialah bagaimana keragaman dan perbedaan itu bisa dijadikan modal sosial untuk mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara, yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur.
 
Mencapai masyarakat adil dan makmur tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kita semua mesti bersatu dan saling bekerja sama dalam kebajikan dan taqwa, bukan bersekongkolan dalam dosa dan permusuhan dengan menyebar kebencian melalui media sosial di ruang publik. Kita bersama-sama berjuang untuk mendekatkan jarak antara kaum perpunya dan tak berpunya.
 
Dalam perspektif persatuan dan kebangsaan itulah kita juga mengapresiasi pertemuan Presiden Joko Widodo dengan pimpinan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI) di Istana, kemarin. Membangun komunikasi antara pemerintah dan kelompok yang dikesankan berseberangan tentu bagian dari hikmah Lebaran kebangsaan kali ini.
 
Terus terang, kita merindukan praktik keagamaan yang disertai perbuatan-perbuatan baik. Praktik keagamaan tanpa perbuatan baik laksana tubuh tanpa roh. Semua perbuatan baik selama Ramadan hendaknya mampu menempa hati, mengasuh jiwa, dan mengasah nalar dalam menjalani keseharian seusai Lebaran. Itulah yang menjadi landasan kita menyambut Idul Fitri berikutnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase idul fitri

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif