GEMPA Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), ialah ujian seluruh sendi bangsa. Bukan saja menguji ketegaran masyarakat Lombok, melainkan pula ujian kesigapan pemerintah, baik daerah maupun pusat.
Tidak salah pula jika tuntutan kesigapan itu lebih dialamatkan pada pemerintah pusat. Skala korban dan kerusakan memang besar. Hingga kini setidaknya 515 nyawa telah melayang dan kerugian lebih dari Rp7 triliun.
Tidak hanya itu, sejak mengamuk dengan kekuatan magnitudo (M) 7,0 pada 5 Agustus, gempa belum juga reda. Hingga kini setidaknya 825 gempa terjadi, bahkan terjadi pula gempa baru pada 19 Agustus dengan kekuatan yang sama.
Dari sisi sejarah kegempaan, peristiwa itu bukanlah sesuatu yang pernah dihadapi bahkan di negara cincin api kita. Sebab itu, wajar pemerintah pusat dituntut memberikan bantuan maksimal untuk penanganan gempa itu.
Meski begitu, tuntutan soal penetapan status bencana nasional justru tidak tepat. Meributkan status itu seperti orang yang menyiramkan air bukan ke pusat kebakaran. Mereka berlagak ikut mengatasi bencana, padahal hanya membuang energi.
Mereka juga seolah menutup mata terhadap bantuan yang disalur. Pada hari-hari pertama bencana, BNPB langsung menyalurkan 21 ton bantuan logistik. Di gelombang berikutnya, SAR mengirim 100 personel dan kemudian ada pula kru personel TNI.
Tidak hanya menutup mata soal skala penanganan yang sebenarnya sudah nasional, kelompok penuntut status bencana tidak mau tahu soal rekam jejak penanganan bencana. Sudah 14 tahun ini tidak ada bencana yang ditetapkan sebagai bencana nasional.
Terakhir ialah bencana tsunami Aceh. Bahkan gempa Sumatra Barat yang menelan korban jiwa lebih dari 1.100 orang pun tidak mendapat status itu.
Dari situ, tidaklah naif jika kita menilai tuntutan status bencana nasional pada gempa Lombok ialah sebuah politisasi. Demi pertarungan kekuasaan, sikap pemerintah saat ini yang tidak berbeda dari pemerintah yang lalu dijadikan bahan diskredit.
Kita pun bisa melihat sosok-sosok yang keras mengkritik tidak ada status bencana nasional itu merupakan oposisi pemerintah. Di antaranya ialah Fahri Hamzah dan anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Gerindra Rahayu Saraswati Djojohadikusumo.
Tindakan politisasi itulah yang pantas disebut petaka di tengah bencana. Tindakan itu hanya membuat suasana keruh dan potensi perpecahan di tengah bangsa yang dituntut bersatu.
Di sisi lain, para politikus itu sebenarnya juga menunjukkan sendiri kebebalan soal dasar-dasar penetapan status bencana nasional. Setidaknya, mereka pun bisa bertanya kepada partai sekoalisi soal alasan tidak dikeluarkannya status bencana nasional di pemerintahan sebelumnya.
Wewenang penetapan status bencana diatur dalam Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2008 yang menyatakan penentuan status keadaan darurat bencana dilaksanakan pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan tingkatan bencana.
Untuk tingkat nasional ditetapkan presiden, tingkat provinsi oleh gubernur, dan tingkat kabupaten/kota oleh bupati/wali kota. Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah didasarkan pada lima variabel utama, yakni jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, serta dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Pada bencana tsunami Aceh, pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten/kota termasuk unsur pusat di Aceh seperti kodam dan polda, kolaps atau tak berdaya sehingga menyerahkan ke pemerintah pusat.
Penetapan status bencana nasional juga membuat konsekuensi Indonesia membuka pintu seluas-luasnya bagi bantuan internasional oleh negara-negara lain. Dari situ sering kali timbul permasalahan baru terkait dengan bantuan internasional karena menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.
Sementara saat ini, Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menyatakan meski tanpa status bencana nasional, sumber daya yang dikerahkan sudah berskala nasional. Presiden Joko Widodo juga akan merilis instruksi presiden (inpres) untuk mempercepat penanganan gempa.
Di Lombok, Wapres Jusuf Kalla pun sudah menyatakan pemerintah akan memberikan bantuan pendanaan pendirian rumah kembali. Pendirian itu harus dilakukan dengan standar ketahanan kegempaan. Penanganan komprehensif inilah yang memang lebih dibutuhkan masyarakat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
