Jakarta: Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari menilai seorang menteri yang hendak mencalonkan diri sebagai kandidat di Pilpres 2024 sebaiknya mengundurkan diri. Ini merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas pengujian Pasal 170 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
"Begitu resmi menjadi calon semestinya secara etik, dia harus mundur karena tidak akan mungkin fokus mengelola kementerian dengan baik," ujar Feri ketika dihubungi, Selasa, 1 November 2022.
Menurut dia, pengaturan para menteri memang hak prerogatif presiden. Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat, itu menjelaskan bahwa Pasal 17 UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menegaskan bahwa menteri ditugaskan untuk membantu presiden dan menjalankan tugas konstitusionalnya.
Menurut dia, presiden yang paling tepat untuk memutuskan akan memberhentikan atau tidak menteri yang ingin maju menjadi calon presiden. Sepanjang presiden tidak terganggu, kata dia, tidak mungkin dipersoalkan.
"Kalau tidak (mundur), tentu akan ada mubazir negara memberikan gaji, dia (menteri) malah fokus ke dirinya. Jadi pendekatannya etis," tutur Feri.
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menteri atau pejabat setingkat menteri tak perlu mengundurkan diri dari jabatannya apabila dicalonkan oleh partai politik (parpol) menjadi presiden ataupun wakil presiden. MK menyatakan pejabat negara yang dicalonkan oleh parpol sebagai capres atau cawapres harus mengundurkan diri dari jabatannya kini sudah tidak relevan lagi.
"Tidak lagi relevan dan oleh karenanya harus tidak lagi diberlakukan ketentuan pengecualian syarat pengunduran diri dalam norma Pasal 170 ayat 1 Nomor 7 Tahun 2017," tegas Hakim MK Arief Hidayat dalam sidang putusan, Senin, 31 Oktober 2022.
Ini merupakan putusan perkara nomor 68/PUU-XX/2022 yang diajukan Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda) menyatakan frase 'pejabat negara' dalam pasal 170 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Pasal 170 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 2017 mewajibkan pejabat negara mengundurkan diri dari jabatannya saat mencalonkan diri sebagai presiden. Pengecualian diberikan kepada presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota dan menteri.
MK menambahkan menteri atau pejabat setingkat menteri hanya mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari presiden.
Jakarta: Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari menilai seorang menteri yang hendak mencalonkan diri sebagai kandidat di
Pilpres 2024 sebaiknya mengundurkan diri. Ini merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas pengujian Pasal 170 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
"Begitu resmi menjadi calon semestinya secara etik, dia harus mundur karena tidak akan mungkin fokus mengelola kementerian dengan baik," ujar Feri ketika dihubungi, Selasa, 1 November 2022.
Menurut dia, pengaturan para menteri memang hak prerogatif presiden. Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat, itu menjelaskan bahwa Pasal 17 UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menegaskan bahwa menteri ditugaskan untuk membantu presiden dan menjalankan tugas konstitusionalnya.
Menurut dia, presiden yang paling tepat untuk memutuskan akan memberhentikan atau tidak menteri yang ingin maju menjadi
calon presiden. Sepanjang presiden tidak terganggu, kata dia, tidak mungkin dipersoalkan.
"Kalau tidak (mundur), tentu akan ada mubazir negara memberikan gaji, dia (menteri) malah fokus ke dirinya. Jadi pendekatannya etis," tutur Feri.
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menteri atau pejabat setingkat menteri tak perlu mengundurkan diri dari jabatannya apabila dicalonkan oleh partai politik (parpol) menjadi presiden ataupun wakil presiden. MK menyatakan pejabat negara yang dicalonkan oleh parpol sebagai capres atau cawapres harus mengundurkan diri dari jabatannya kini sudah tidak relevan lagi.
"Tidak lagi relevan dan oleh karenanya harus tidak lagi diberlakukan ketentuan pengecualian syarat pengunduran diri dalam norma Pasal 170 ayat 1 Nomor 7 Tahun 2017," tegas Hakim MK Arief Hidayat dalam sidang putusan, Senin, 31 Oktober 2022.
Ini merupakan putusan perkara nomor 68/PUU-XX/2022 yang diajukan Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda) menyatakan frase 'pejabat negara' dalam pasal 170 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Pasal 170 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 2017 mewajibkan pejabat negara mengundurkan diri dari jabatannya saat mencalonkan diri sebagai presiden. Pengecualian diberikan kepada presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota dan menteri.
MK menambahkan menteri atau pejabat setingkat menteri hanya mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari presiden.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(AGA)