Jakarta: Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), jadi satu dari enam poin tuntutan gerakan Reformasi 1998. Memasuki 25 tahun era reformasi, agenda pemberantasan korupsi justru dinilai berjalan mundur, bahkan berada di titik terendah.
"Salah satu agenda reformasi yang cukup penting yaitu pemberantasan korupsi, belum tuntas, belum maksimal, bahkan berada di titik paling nadir," kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno kepada Medcom.id, Sabtu, 20 Mei 2023.
Ia mengatakan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia berada di titik terendah selama 10-15 tahun terakhir. Proses penegakan hukum kasus korupsi juga dinilai masih mendapat rapor merah.
"Semangat reformasi dari pemberantasan korupsi memang masih jauh panggang dari api," ujar dia.
Menurut Adi, agenda pemberantasan korupsi harus menjadi concern para calon pemimpin di 2024. Calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) punya pekerjaan rumah untuk menghilangkan budaya dan praktik korupsi, terutama di bidang politik.
"Yang membuat indeks persepsi korupsi kita itu rendah, karena memang banyak korupsi di bidang politik yang saya kira cukup mengerikan, yang melakukan korupsi hampir semua di tingkat eksekutif," paparnya.
Agenda pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi pekerjaan rumah besar dan perlu mendapat perhatian khusus. Bukan hanya soal praktik rasuahnya, melainkan bagaimana memastikan penanganan kasus korupsi jauh dari intervensi kekuasaan.
Politik pemberantasan korupsi
Sebagian publik membaca pemberantasan korupsi saat ini masih diwarnai kepentingan politik. Sebut saja potongan sajak yang ditulis mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana. Sajak itu kiranya mewakili suara mereka yang merasakan kekalahan hukum oleh politik.
Dalam sajak berjudul Korupsilah dalam Pelukan Koalisi, Denny menulis:
Inilah kisah sensasi
Kala korupsi punya kawan bernama koalisi
Ketika korupsi punya lawan bernama oposisi Korupsilah, tapi dalam pelukan koalisi
Karena jika nekat di barisan oposisi, korupsi berarti bunuh diri.
Inilah kisah sensasi
Ketika Anda diborgol karena beda posisi
Sedang yang di Istana bebas ngobrol diskusi strategi kontestasi, sambil minum kopi.
Jadi, masalahnya bukan korupsi
Salahnya ketika membentuk barisan sendiri
Tiba-tiba meloncat ke oposisi
Mencelat keluar dari strategi
Jadilah konsekwensi Tangan tak bergerak dikunci.
Semoga kecurigaan ini tidak benar. Sebab, salah satu yang hendak didudukkan pada posisi yang tepat melalui reformasi ialah hukum harus menjadi payung dan alat keadilan.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Jakarta: Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), jadi satu dari enam poin tuntutan gerakan
Reformasi 1998. Memasuki 25 tahun era reformasi, agenda pemberantasan korupsi justru dinilai berjalan mundur, bahkan berada di titik terendah.
"Salah satu agenda reformasi yang cukup penting yaitu pemberantasan korupsi, belum tuntas, belum maksimal, bahkan berada di titik paling nadir," kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno kepada
Medcom.id, Sabtu, 20 Mei 2023.
Ia mengatakan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia berada di titik terendah selama 10-15 tahun terakhir. Proses penegakan hukum kasus korupsi juga dinilai masih mendapat rapor merah.
"Semangat reformasi dari pemberantasan korupsi memang masih jauh panggang dari api," ujar dia.
Menurut Adi, agenda
pemberantasan korupsi harus menjadi concern para calon pemimpin di 2024. Calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) punya pekerjaan rumah untuk menghilangkan budaya dan praktik korupsi, terutama di bidang politik.
"Yang membuat indeks persepsi korupsi kita itu rendah, karena memang banyak korupsi di bidang politik yang saya kira cukup mengerikan, yang melakukan korupsi hampir semua di tingkat eksekutif," paparnya.
Agenda pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi pekerjaan rumah besar dan perlu mendapat perhatian khusus. Bukan hanya soal praktik rasuahnya, melainkan bagaimana memastikan penanganan kasus korupsi jauh dari intervensi kekuasaan.
Politik pemberantasan korupsi
Sebagian publik membaca pemberantasan korupsi saat ini masih diwarnai kepentingan politik. Sebut saja potongan sajak yang ditulis mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana. Sajak itu kiranya mewakili suara mereka yang merasakan kekalahan hukum oleh politik.
Dalam sajak berjudul Korupsilah dalam Pelukan Koalisi, Denny menulis:
Inilah kisah sensasi
Kala korupsi punya kawan bernama koalisi
Ketika korupsi punya lawan bernama oposisi Korupsilah, tapi dalam pelukan koalisi
Karena jika nekat di barisan oposisi, korupsi berarti bunuh diri.
Inilah kisah sensasi
Ketika Anda diborgol karena beda posisi
Sedang yang di Istana bebas ngobrol diskusi strategi kontestasi, sambil minum kopi.
Jadi, masalahnya bukan korupsi
Salahnya ketika membentuk barisan sendiri
Tiba-tiba meloncat ke oposisi
Mencelat keluar dari strategi
Jadilah konsekwensi Tangan tak bergerak dikunci.
Semoga kecurigaan ini tidak benar. Sebab, salah satu yang hendak didudukkan pada posisi yang tepat melalui reformasi ialah hukum harus menjadi payung dan alat keadilan.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)