Jakarta: Sudah 25 tahun Indonesia berada di era reformasi. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, salah satunya soal mahalnya ongkos politik akibat suburnya praktik politik uang.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai mahalnya biaya politik saat ini menjadi konsekuensi logis dari sistem demokrasi langsung, yakni one man one vote. Calon pemimpin yang ingin mendapatkan dukungan suara mayoritas dipaksa melakukan mobilisasi pemilih dengan logistik yang menjadi alat transaksi politik.
"Idealnya memang ongkos politik bisa ditekan kalau para elite ini mampu menciptakan satu calon yang kemudian gagasan dan narasi politiknya bisa diterima rakyat tanpa harus disogok dengan uang, tanpa harus disogok oleh logistik," kata Adi kepada Medcom.id, Jumat, 19 Mei 2023.
Yang menjadi masalah, kata dia, nyaris tidak ada calon pemimpin yang visi misi dan orientasi politiknya dinikmati masyarakat. Pemilih justru cenderung menikmati logistik dan praktik politik uang.
"Seandainya sistem politik kita mampu menghadirkan calon pemimpin yang sesuai dengan selera dan hati rakyat, saya kira memang ongkos politik ini bisa ditekan," ungkap analis politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Pada sistem politik di Indonesia yang cenderung liberal saat ini, kata dia, meyakinkan rakyat dalam jumlah yang banyak bukan perkara gampang. Namun, bukan berarti tak ada solusi.
Ia menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan pemerintah, harus mengatur sebuah sistem yang sedemikian rupa agar ongkos politik bisa ditekan tanpa harus mengurangi esensi demokrasi langsung.
"KPU dan Bawaslu harus mengetatkan bagaimana pengeluaran, sumbangan politik yang diberikan siapa pun oleh pihak sponsor kepada calon dan partai supaya keuangan itu bisa dikendalikan," jelas dia.
Menghapus politik uang lebih urgen ketimbang politik identitas
Ketua DPP Partai NasDem Willy Aditya menilai politik uang menjadi yang paling penting untuk segera dicari jalan keluar. Ia justru tak sepakat dengan narasi yang menyebut politik identitas lebih urgen untuk disetop.
"Banalitas politik uang hari ini tidak ada peneliti yang menyelesaikan seperti apa, terus mau loncat kita (ke politik identitas). Kita lupa materi dasar problemnya," kata Willy dalam diskusi publik di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Rabu, 17 Mei 2023.
Willy mengatakan politik uang adalah lagu lama yang masih saja terjadi. Menurut dia, politik identitas justru reaksi dan respons terhadap banalitas politik uang.
Willy menyinggung jargon nomor piro, wani piro (nomor berapa, uangnya berapa). Hal itu dinilai bisa menggoyahkan seseorang, sekalipun memiliki integritas tinggi.
"Jangan pernah mengutuk gelap dan hanya melihat hal-hal artifisial. Lihatlah secara holistik," ujar Wakil Ketua Badan Legislasi DPR itu.
Pentingnya gerakan sosial menolak politik uang
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari menyebut pemberantasan praktik politik uang dapat dilawan dengan dua pendekatan, yakni kultural dan hukum. Melalui pendekatan kultural, ia mengatakan harus ada kesadaran dari masyarakat melakukan gerakan sosial menolak politik uang.
"Dan itu basisnya bisa dimulai dari kampung-kampung, karena sesungguhnya, kan, pemilih, TPS (tempat pemungutan suara)-nya ada di kampung-kampung," ujar Hasyim dalam kuliah umum yang digelar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro secara daring, Selasa, 28 Maret 2023.
Dengan demikian, lanjut Hasyim, masyarakat dapat menolak praktik bagi-bagi amplop oleh peserta pemilu, baik partai politik, perseorangan, maupun tim sukses masing-masing. Hal tersebut diyakini dapat meningkatkan kesadaran peserta pemilu bahwa kemenangan dalam kontestasi demokrasi tidak selalu karena uang.
Terkait pendekatan hukum politik uang, Hasyim menegaskan bahwa baik pemberi maupun penerima terancam pidana. Namun, ia berpendapat penyelesaian jual beli suara melalui pendekatan hukum sangat ditentukan dengan pendekatan kulutral.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Jakarta: Sudah 25 tahun Indonesia berada di era reformasi. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, salah satunya soal mahalnya ongkos politik akibat suburnya praktik politik uang.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai mahalnya biaya politik saat ini menjadi konsekuensi logis dari sistem
demokrasi langsung, yakni
one man one vote. Calon pemimpin yang ingin mendapatkan dukungan suara mayoritas dipaksa melakukan mobilisasi pemilih dengan logistik yang menjadi alat transaksi politik.
"Idealnya memang ongkos politik bisa ditekan kalau para elite ini mampu menciptakan satu calon yang kemudian gagasan dan narasi politiknya bisa diterima rakyat tanpa harus disogok dengan uang, tanpa harus disogok oleh logistik," kata Adi kepada
Medcom.id, Jumat, 19 Mei 2023.
Yang menjadi masalah, kata dia, nyaris tidak ada calon pemimpin yang visi misi dan orientasi politiknya dinikmati masyarakat. Pemilih justru cenderung menikmati logistik dan praktik politik uang.
"Seandainya sistem politik kita mampu menghadirkan calon pemimpin yang sesuai dengan selera dan hati rakyat, saya kira memang ongkos politik ini bisa ditekan," ungkap analis politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Pada sistem politik di Indonesia yang cenderung liberal saat ini, kata dia, meyakinkan rakyat dalam jumlah yang banyak bukan perkara gampang. Namun, bukan berarti tak ada solusi.
Ia menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan pemerintah, harus mengatur sebuah sistem yang sedemikian rupa agar ongkos politik bisa ditekan tanpa harus mengurangi esensi demokrasi langsung.
"KPU dan Bawaslu harus mengetatkan bagaimana pengeluaran, sumbangan politik yang diberikan siapa pun oleh pihak sponsor kepada calon dan partai supaya keuangan itu bisa dikendalikan," jelas dia.
Menghapus politik uang lebih urgen ketimbang politik identitas
Ketua DPP Partai NasDem Willy Aditya menilai
politik uang menjadi yang paling penting untuk segera dicari jalan keluar. Ia justru tak sepakat dengan narasi yang menyebut politik identitas lebih urgen untuk disetop.
"Banalitas politik uang hari ini tidak ada peneliti yang menyelesaikan seperti apa, terus mau loncat kita (ke politik identitas). Kita lupa materi dasar problemnya," kata Willy dalam diskusi publik di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Rabu, 17 Mei 2023.
Willy mengatakan politik uang adalah lagu lama yang masih saja terjadi. Menurut dia, politik identitas justru reaksi dan respons terhadap banalitas politik uang.
Willy menyinggung jargon
nomor piro,
wani piro (nomor berapa, uangnya berapa). Hal itu dinilai bisa menggoyahkan seseorang, sekalipun memiliki integritas tinggi.
"Jangan pernah mengutuk gelap dan hanya melihat hal-hal artifisial. Lihatlah secara holistik," ujar Wakil Ketua Badan Legislasi DPR itu.
Pentingnya gerakan sosial menolak politik uang
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari menyebut pemberantasan praktik politik uang dapat dilawan dengan dua pendekatan, yakni kultural dan hukum. Melalui pendekatan kultural, ia mengatakan harus ada kesadaran dari masyarakat melakukan gerakan sosial menolak politik uang.
"Dan itu basisnya bisa dimulai dari kampung-kampung, karena sesungguhnya, kan, pemilih, TPS (tempat pemungutan suara)-nya ada di kampung-kampung," ujar Hasyim dalam kuliah umum yang digelar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro secara daring, Selasa, 28 Maret 2023.
Dengan demikian, lanjut Hasyim, masyarakat dapat menolak praktik bagi-bagi amplop oleh peserta pemilu, baik partai politik, perseorangan, maupun tim sukses masing-masing. Hal tersebut diyakini dapat meningkatkan kesadaran peserta pemilu bahwa kemenangan dalam kontestasi demokrasi tidak selalu karena uang.
Terkait pendekatan hukum politik uang, Hasyim menegaskan bahwa baik pemberi maupun penerima terancam pidana. Namun, ia berpendapat penyelesaian jual beli suara melalui pendekatan hukum sangat ditentukan dengan pendekatan kulutral.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)