Jakarta: Ketua DPD AA La Nyalla Mahmud Mattalitti mengatakan untuk kembali kepada Pancasila sebagai norma hukum tertinggi. Pancasila sesuai rumusan para pendiri bangsa yang disempurnakan dan diperkuat dengan semangat reformasi sehingga tidak mengulang praktik penyimpangan yang terjadi di era orde lama dan orde baru.
"Bahwa undang-undang dasar hasil perubahan pada 1999 hingga 2002 dan sekarang kita gunakan telah meninggalkan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi. Perubahan isi dari pasal-pasal dan konstitusi tersebut membuat undang-undang dasar 1945 justru menjabarkan semangat individualisme dan liberalisme serta ekonomi yang kapitalistik. Sehingga bangsa kita semakin tercabut dari akar budaya dan sejarah kelahirannya," ujarnya dalam Sarasehan DPD RI Bersama Calon Presiden 2024-2029, Jumat, 2 Februari 2024.
La Nyalla menyampaikan beberapa poin yang merupakan persoalan fundamental yang dihadapi rakyat Indonesia, yaitu ketidakadilan dan kemiskinan struktural yang sulit dituntaskan. Dua persoalan mendasar tersebut selanjutnya telah dipelajari dan memetakan sumber masalah.
Dari pemetaan tersebut DPD menyimpulkan terdapat tiga persoalan fundamental yang penyelesaiannya juga membutuhkan langka fundamental. Sebab secara filosofi dari semua upaya yang telah dilakukan pemerintah harus bermuara kepada tujuan lahirnya negara ini seperti yang diamanatkan dalam naskah pembukaan undang-undang dasar 1945.
"Bagi kami ini sangat penting karena wajah Indonesia adalah mozaik dari wajah daerah," ujar dia.
Persoalan fundamental pertama adalah keadilan fiskal dalam konteks hubungan pusat dan daerah. Pemerintah daerah 36 persen dengan proporsi beban jumlah pegawai yang ditanggung oleh pemerintah daerah sebesar 78 persen sedangkan pemerintah pusat hanya 22 persen.
Rasio proporsi anggaran dengan beban urusan yang berbanding terbalik antara pusat dan daerah ini menyebabkan kapasitas pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan penyelenggaraan kewenangan menjadi sangat lemah dan terbatas. Sehingga standar pelayanan minimal pemerintah daerah rata-rata hanya mencapai angka 58 persen untuk provinsi dan 55 persen untuk kabupaten kota.
"Sedangkan kementerian dengan proporsi APBN yang sangat besar ternyata memiliki keterbatasan kemampuan tentang kendali hingga ke daerah terutama di daerah kepulauan dan daerah 3T," imbuhnya.
Selanjutnya adalah ketidakadilan yang dirasakan daerah dan masyarakat daerah terhadap pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, di daerah yang outputnya justru memindahkan kantong kemiskinan dan memperparah bencana ekologi. Hal ini kemudian dilihat paradigma pembangunan yang diterapkan adalah pembangunan di Indonesia bukan membangun Indonesia.
"Karena untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dan PDB maka segala kemudahan diberikan investasi dan swasta untuk menguasai sumber daya daerah," ungkap dia.
Jakarta: Ketua
DPD AA La Nyalla Mahmud Mattalitti mengatakan untuk kembali kepada
Pancasila sebagai norma hukum tertinggi. Pancasila sesuai rumusan para pendiri bangsa yang disempurnakan dan diperkuat dengan semangat reformasi sehingga tidak mengulang praktik penyimpangan yang terjadi di era orde lama dan orde baru.
"Bahwa undang-undang dasar hasil perubahan pada 1999 hingga 2002 dan sekarang kita gunakan telah meninggalkan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi. Perubahan isi dari pasal-pasal dan konstitusi tersebut membuat undang-undang dasar 1945 justru menjabarkan semangat individualisme dan liberalisme serta ekonomi yang kapitalistik. Sehingga bangsa kita semakin tercabut dari akar budaya dan sejarah kelahirannya," ujarnya dalam Sarasehan DPD RI Bersama Calon Presiden 2024-2029, Jumat, 2 Februari 2024.
La Nyalla menyampaikan beberapa poin yang merupakan persoalan fundamental yang dihadapi rakyat Indonesia, yaitu ketidakadilan dan kemiskinan struktural yang sulit dituntaskan. Dua persoalan mendasar tersebut selanjutnya telah dipelajari dan memetakan sumber masalah.
Dari pemetaan tersebut DPD menyimpulkan terdapat tiga persoalan fundamental yang penyelesaiannya juga membutuhkan langka fundamental. Sebab secara filosofi dari semua upaya yang telah dilakukan pemerintah harus bermuara kepada tujuan lahirnya negara ini seperti yang diamanatkan dalam naskah pembukaan undang-undang dasar 1945.
"Bagi kami ini sangat penting karena wajah Indonesia adalah mozaik dari wajah daerah," ujar dia.
Persoalan fundamental pertama adalah keadilan fiskal dalam konteks hubungan pusat dan daerah. Pemerintah daerah 36 persen dengan proporsi beban jumlah pegawai yang ditanggung oleh pemerintah daerah sebesar 78 persen sedangkan pemerintah pusat hanya 22 persen.
Rasio proporsi anggaran dengan beban urusan yang berbanding terbalik antara pusat dan daerah ini menyebabkan kapasitas pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan penyelenggaraan kewenangan menjadi sangat lemah dan terbatas. Sehingga standar pelayanan minimal pemerintah daerah rata-rata hanya mencapai angka 58 persen untuk provinsi dan 55 persen untuk kabupaten kota.
"Sedangkan kementerian dengan proporsi APBN yang sangat besar ternyata memiliki keterbatasan kemampuan tentang kendali hingga ke daerah terutama di daerah kepulauan dan daerah 3T," imbuhnya.
Selanjutnya adalah ketidakadilan yang dirasakan daerah dan masyarakat daerah terhadap pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, di daerah yang outputnya justru memindahkan kantong kemiskinan dan memperparah bencana ekologi. Hal ini kemudian dilihat paradigma pembangunan yang diterapkan adalah pembangunan di Indonesia bukan membangun Indonesia.
"Karena untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dan PDB maka segala kemudahan diberikan investasi dan swasta untuk menguasai sumber daya daerah," ungkap dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)