Jakarta: DPR diminta segera membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). RUU tersebut sudah 16 tahun mangkrak.
Masalah pekerja rumah tangga (PRT) dianggap kerap dikesampingkan dari pembahasan politik. Padahal, dampaknya sangat besar bagi golongan tersebut.
"PRT bekerja namun tidak mendapat hak sebagai pekerja. Jam kerja tidak jelas, sering tidak ada libur, eksploitasi fisik, kekerasan, pelecehan hingga upah tidak terbayar," ujar juru bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kokok Dirgantoro melalui keterangan tertulis, Kamis, 27 Agustus 2020.
Menurut Kokok, rendahnya pendapatan PRT menjadi kendala mengakses jaminan sosial untuk layanan kesehatan dan pendidikan bagi keluarga. Pasalnya, PRT tidak terdaftar dan teradministrasi sebagai pekerja.
Dia mengutip survei Jaringan Advokasi Pekerja PRT pada akhir 2019. Survei menyebut 73 persen PRT bekerja dengan upah 20-30 persen dari upah minimum regional (UMR).
"Dan tidak bisa mengakses jaminan sosial seperti masuk dalam daftar Penerima Bantuan Iuran (PBI) juga jaminan ketenagakerjaan," kata Kokok.
Dia menyebut kebutuhan UU PPRT mendesak untuk menetapkan kejelasan mekanisme kerja. Misalnya, rekam jejak pekerja, standar jam kerja, standar upah, kesepakatan mengenai istirahat, libur, dan cuti.
Baca: RUU PPRT Wujud Keseriusan Penegakan Keadilan Perempuan
Selain itu, aturan mengenai PRT menjadikan pekerja tersebut mendapat berbagai bantuan. Seperti bantuan sosial, pendidikan anak, dan hal lain, sehingga pekerja PRT tidak dipandang sebelah mata.
"RUU PPRT ini tak hanya mengenai upah, tapi mengenai perlindungan dan hak yang utuh sebagai pekerja," tutur Kokok.
Jakarta: DPR diminta segera membahas Rancangan Undang-Undang (
RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (
RUU PPRT). RUU tersebut sudah 16 tahun mangkrak.
Masalah pekerja rumah tangga (PRT) dianggap kerap dikesampingkan dari pembahasan politik. Padahal, dampaknya sangat besar bagi golongan tersebut.
"PRT bekerja namun tidak mendapat hak sebagai pekerja. Jam kerja tidak jelas, sering tidak ada libur, eksploitasi fisik, kekerasan, pelecehan hingga upah tidak terbayar," ujar juru bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kokok Dirgantoro melalui keterangan tertulis, Kamis, 27 Agustus 2020.
Menurut Kokok, rendahnya pendapatan PRT menjadi kendala mengakses jaminan sosial untuk layanan kesehatan dan pendidikan bagi keluarga. Pasalnya, PRT tidak terdaftar dan teradministrasi sebagai pekerja.
Dia mengutip survei Jaringan Advokasi Pekerja PRT pada akhir 2019. Survei menyebut 73 persen PRT bekerja dengan upah 20-30 persen dari upah minimum regional (UMR).
"Dan tidak bisa mengakses jaminan sosial seperti masuk dalam daftar Penerima Bantuan Iuran (PBI) juga jaminan ketenagakerjaan," kata Kokok.