Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) diyakini menolak gugatan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Permohonan yang tengah ditangani yaitu terkait sistem proporsional terbuka dalam Pemilu Legislatif (Pileg) 2024.
"Saya haqqul yakin, MK tidak akan mengabulkan sebagian atau keseluruhan dari petitum yang diajukan para penggugat," kata legislator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim melalui keterangan tertulis, Kamis, 5 Januari 2023.
Ia menilai gugatan yang disampaikan dinilai tak masuk akal. Para penggugat dinilai tak paham soal kepemiluan. "Gagal memahami alur pemilu, sehingga petitum yang mereka ajukan terlihat irasional, absurd, dan kacau," ungkap dia.
Para penggugat meminta MK menganulir Pasal 420 huruf c UU Pemilu tentang penentuan suara yang diperoleh calon legislatif. Mereka ingin penetapan tersebut diubah dari jumlah terbanyak ke pembagian berdasarkan nomor urut.
Penggugat juga ingin menghapus Pasal 420 huruf d yang mengatur tata cara konversi suara. Dalam UU Pemilu, konversi suara menggunakan metode sainte lague, yaitu pembagian berdasarkan suara sah terbanyak yang dibagi dengan bilangan ganjil mulai dari 1, 3, 5, 7, dan seterusnya.
"Menghapus huruf (d) Pasal 420 ini, akan menyebabkan kebuntuan dan kekacauan pemilu, karena tidak ada lagi aturan yang menjadi pedoman bagaimana membagi kursi parlemen kepada partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan," terang dia.
Selain itu, pengajuan perubahan Pasal 422 UU Pemilu tentang penetapan calon legislatif (caleg) terpilih dinilai aneh. Mereka ingin ketentuan penetapan berdasarkan suara terbanyak diubah menjadi perolehan suara partai politik.
Apabila petitum Pasal 422 UU Pemilu ini dikabulkan MK, maka berpotensi menimbulkan ketidakpastian siapa anggota partai politik yang berhak menempati kursi parlemen. Bahkan, partai politik bisa memasukkan orang yang tidak mencalonkan diri menjadi anggota dewan.
"Partai politik yang memperoleh kursi di suatu daerah pemilihan memiliki kewenangan mengirimkan anggotanya yang tidak menjadi calon legislatif untuk menempati kursi parlemen yang diperoleh partai. Sungguh parah," ujar dia.
Dia berharap MK memahami dengan komprehensif seluruh petitum yang diajukan para penggugat. Sehingga, menolak pengajuan gugatan yang disampaikan.
"Dengan demikian, maka pelaksanaan Pemilu 2024 tetap akan menggunakan sistem proporsional terbuka. Tidak akan berubah menjadi proporsional tertutup sebagaimana keinginan para penggugat," ujar dia.
Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) diyakini menolak gugatan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Permohonan yang tengah ditangani yaitu terkait sistem proporsional terbuka dalam Pemilu Legislatif (
Pileg) 2024.
"Saya
haqqul yakin, MK tidak akan mengabulkan sebagian atau keseluruhan dari petitum yang diajukan para penggugat," kata legislator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim melalui keterangan tertulis, Kamis, 5 Januari 2023.
Ia menilai gugatan yang disampaikan dinilai tak masuk akal. Para penggugat dinilai tak paham soal kepemiluan. "Gagal memahami alur pemilu, sehingga petitum yang mereka ajukan terlihat irasional, absurd, dan kacau," ungkap dia.
Para penggugat meminta MK menganulir Pasal 420 huruf c UU Pemilu tentang penentuan suara yang diperoleh calon legislatif. Mereka ingin penetapan tersebut diubah dari jumlah terbanyak ke pembagian berdasarkan nomor urut.
Penggugat juga ingin menghapus Pasal 420 huruf d yang mengatur tata cara konversi suara. Dalam
UU Pemilu, konversi suara menggunakan metode sainte lague, yaitu pembagian berdasarkan suara sah terbanyak yang dibagi dengan bilangan ganjil mulai dari 1, 3, 5, 7, dan seterusnya.
"Menghapus huruf (d) Pasal 420 ini, akan menyebabkan kebuntuan dan kekacauan pemilu, karena tidak ada lagi aturan yang menjadi pedoman bagaimana membagi kursi parlemen kepada partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan," terang dia.
Selain itu, pengajuan perubahan Pasal 422 UU Pemilu tentang penetapan calon legislatif (caleg) terpilih dinilai aneh. Mereka ingin ketentuan penetapan berdasarkan suara terbanyak diubah menjadi perolehan suara partai politik.
Apabila petitum Pasal 422
UU Pemilu ini dikabulkan MK, maka berpotensi menimbulkan ketidakpastian siapa anggota partai politik yang berhak menempati kursi parlemen. Bahkan, partai politik bisa memasukkan orang yang tidak mencalonkan diri menjadi anggota dewan.
"Partai politik yang memperoleh kursi di suatu daerah pemilihan memiliki kewenangan mengirimkan anggotanya yang tidak menjadi calon legislatif untuk menempati kursi parlemen yang diperoleh partai. Sungguh parah," ujar dia.
Dia berharap MK memahami dengan komprehensif seluruh petitum yang diajukan para penggugat. Sehingga, menolak pengajuan gugatan yang disampaikan.
"Dengan demikian, maka pelaksanaan
Pemilu 2024 tetap akan menggunakan sistem proporsional terbuka. Tidak akan berubah menjadi proporsional tertutup sebagaimana keinginan para penggugat," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)