Jakarta: Sistem proporsional terbuka dalam pemilihan calon legislatif (caleg) ditelaah. Pakar hukum tata negara Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan, menyebut hal itu menimbulkan dampak-dampak tersendiri bagi caleg.
Salah satu dampak, yakni biaya politik yang tinggi. Hal tersebut menjadikan pemilihan legislatif (pileg) sebagai ajang adu modal. "Akibatnya cost politic menjadi makin besar, menjadikan para calon akhirnya rela berutang atau bahkan menggadaikan rumah dan barang-barang berharga lainnya demi kemenangan," kata Jimmy saat dikonfirmasi, Rabu, 4 Januari 2023.
Biaya politik yang besar itu juga mengakibatkan anggota legislatif yang berutang rela menggadaikan SK jabatan ke bank. Sehingga, utang mereka dapat dibayar.
Dampak lain, kata dia, ada ketegangan antarcaleg. Bahkan, tak jarang peserta berkonflik dengan partai atau malah melibatkan masyarakat.
“Bayangkan saja, jika konflik itu melibatkan para pendukung, bukan kah akan menimbulkan konflik sosial yang besar di masyarakat?" kata Jimmy.
Menurut dia, konflik sosial berpotensi membesar. Karena, Indonesia memiliki 514 kabupaten/kota dan 38 Provinsi, sehingga banyak pihak berpotensi dilibatkan dalam konflik tersebut.
"Tentunya ini bisa jadi masalah besar nantinya," kata Jimmy.
Dia juga menyinggung tingginya surat suara tidak sah. Sebanyak 17.503.953 suara tidak sah untuk Pileg 2019. Fenomena tersebut dinilai bakal menimbulkan sikap apatis masyarakat.
Jimmy khawatir masyarakat tak mau lagi berpartisipasi menggunakan hak pilih. Sebab, suara mereka yang memilih berpotensi tidak sah.
"Belum lagi masing-masing surat suara calon DPR atau DPRD di Provinsi/Kab/Kota berisikan nama-nama calon yang begitu banyak, akhirnya pemilih tidak menggunakan rasionalitasnya dalam memilih," kata dia.
Di sisi lain, dia membeberkan banyak calon legislatif yang gagal dan mengalami depresi. Bahkan, ada yang terkena gangguan jiwa dan bunuh diri seperti pada Pemilu 2019.
Partai Golkar mengkritisi wacana proporsional tertutup yang disampaikan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari. Pasalnya, proporsional terbuka masih relevan diterapkan hingga saat ini agar masyarakat bisa mengawasi kinerja wakilnya di parlemen.
“Proporsional terbuka ini memberikan hak kepada masyarakat untuk menentukan siapa yang masyarakat inginkan untuk menjadi wakilnya di parlemen, ini juga menjadi alat untuk masyarakat menilai atapun menghukum bilamana ada wakil-wakilnya yang tidak bekerja dengan baik,” kata Ketua DPP Golkar Dave Akbarshah Fikarno Laksono melalui keterangan tertulis, Minggu, 1 Januari 2023.
Ketua DPP Organisasi Masyarakat (Ormas) Kosgoro itu menyampaikan masih relevan untuk pemilu ke depan. Sistem proporsional tertutup dinilai sebagai sebuah kemunduran karena mendorong sistem oligarki partai.
Jakarta: Sistem proporsional terbuka dalam
pemilihan calon legislatif (caleg) ditelaah. Pakar hukum tata negara Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan, menyebut hal itu menimbulkan dampak-dampak tersendiri bagi caleg.
Salah satu dampak, yakni biaya politik yang tinggi. Hal tersebut menjadikan pemilihan legislatif (
pileg) sebagai ajang adu modal. "Akibatnya
cost politic menjadi makin besar, menjadikan para calon akhirnya rela berutang atau bahkan menggadaikan rumah dan barang-barang berharga lainnya demi kemenangan," kata Jimmy saat dikonfirmasi, Rabu, 4 Januari 2023.
Biaya politik yang besar itu juga mengakibatkan anggota legislatif yang berutang rela menggadaikan SK jabatan ke bank. Sehingga, utang mereka dapat dibayar.
Dampak lain, kata dia, ada ketegangan antarcaleg. Bahkan, tak jarang peserta berkonflik dengan partai atau malah melibatkan masyarakat.
“Bayangkan saja, jika konflik itu melibatkan para pendukung, bukan kah akan menimbulkan konflik sosial yang besar di masyarakat?" kata Jimmy.
Menurut dia, konflik sosial berpotensi membesar. Karena, Indonesia memiliki 514 kabupaten/kota dan 38 Provinsi, sehingga banyak pihak berpotensi dilibatkan dalam konflik tersebut.
"Tentunya ini bisa jadi masalah besar nantinya," kata Jimmy.
Dia juga menyinggung tingginya surat suara tidak sah. Sebanyak 17.503.953 suara tidak sah untuk Pileg 2019. Fenomena tersebut dinilai bakal menimbulkan sikap apatis masyarakat.
Jimmy khawatir masyarakat tak mau lagi berpartisipasi menggunakan hak pilih. Sebab, suara mereka yang memilih berpotensi tidak sah.
"Belum lagi masing-masing surat suara calon DPR atau DPRD di Provinsi/Kab/Kota berisikan nama-nama calon yang begitu banyak, akhirnya pemilih tidak menggunakan rasionalitasnya dalam memilih," kata dia.
Di sisi lain, dia membeberkan banyak calon legislatif yang gagal dan mengalami depresi. Bahkan, ada yang terkena gangguan jiwa dan bunuh diri seperti pada
Pemilu 2019.
Partai Golkar mengkritisi wacana proporsional tertutup yang disampaikan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari. Pasalnya, proporsional terbuka masih relevan diterapkan hingga saat ini agar masyarakat bisa mengawasi kinerja wakilnya di parlemen.
“Proporsional terbuka ini memberikan hak kepada masyarakat untuk menentukan siapa yang masyarakat inginkan untuk menjadi wakilnya di parlemen, ini juga menjadi alat untuk masyarakat menilai atapun menghukum bilamana ada wakil-wakilnya yang tidak bekerja dengan baik,” kata Ketua DPP Golkar Dave Akbarshah Fikarno Laksono melalui keterangan tertulis, Minggu, 1 Januari 2023.
Ketua DPP Organisasi Masyarakat (Ormas) Kosgoro itu menyampaikan masih relevan untuk pemilu ke depan. Sistem proporsional tertutup dinilai sebagai sebuah kemunduran karena mendorong sistem oligarki partai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)