Jakarta: Presiden Joko Widodo dinilai sudah tegas dalam menyikapi hasil revisi Undang-undang (UU) MD3 dengan belum menandatanganinya. Namun, Jokowi dinilai masih perlu mengeluarkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk membatalkan beberapa pasal yang kontroversial.
"Presiden tidak perlu tanda tangan. Kemudian Presiden keluarkan Perppu. Presiden mengeluarkan Perppu untuk membatalkan pasal-pasal ini," kata peneliti hukum Agung Sulistyo dalam diskusi 'Kontroversial revisi UU MD3: Anti demokrasi dan Kontra Pemberantasan Korupsi?' di Kantor PARA Syndicate, Jakarta, Jumat, 23 Februari 2018.
Agung mengakui hasil revisi itu tetap bisa menjadi UU sekalipun Presiden tak menandatangani setelah 30 hari disahkan oleh DPR. Namun, menurut dia, langkah Jokowi tersebut cukup untuk menunda penggunaan UU tersebut.
"Tetaplah pada ketegasan itu untuk tidak perlu ditandatangani," ucap dia.
(Baca juga: Ketua DPR Nilai Presiden tak Perlu Terbitkan Perppu MD3)
Salah satu hasil revisi yang menjadi sorotan antara lain, Pasal 122 huruf K. Pasal tersebut berbunyi, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) berhak melakukan pelaporan terkait adanya pelanggaran hukum terhadap pihak-pihak yang melakukan penghinaan terhadap anggota DPR dan lembaga DPR.
Selain menolak menandatangani dan mengeluarkan Perppu, Deputi Direktur PARA Syndicate itu memandang Presiden harus mengakui kecolongan dengan keluarnya pasal-pasal pada hasil revisi UU MD3 ini.
Presiden dinilai perlu menegur Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang mewakili pemerintah dalam pembahasan UU ini dengan DPR.
"Pemerintah harus bisa jadi penyeimbang penguasaan. Jadi di sini kegagalan pemerintah. Tegurlah Pak Menkumham, tegurlah Pak Menteri. Mungkin tegurannya bisa pencopotan atau hanya Presiden yang tahu," kata dia.
(Baca juga: Menguliti Revisi UU MD3)
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/Rb1ZM7Yk" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Presiden Joko Widodo dinilai sudah tegas dalam menyikapi hasil revisi Undang-undang (UU) MD3 dengan belum menandatanganinya. Namun, Jokowi dinilai masih perlu mengeluarkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk membatalkan beberapa pasal yang kontroversial.
"Presiden tidak perlu tanda tangan. Kemudian Presiden keluarkan Perppu. Presiden mengeluarkan Perppu untuk membatalkan pasal-pasal ini," kata peneliti hukum Agung Sulistyo dalam diskusi 'Kontroversial revisi UU MD3: Anti demokrasi dan Kontra Pemberantasan Korupsi?' di Kantor PARA Syndicate, Jakarta, Jumat, 23 Februari 2018.
Agung mengakui hasil revisi itu tetap bisa menjadi UU sekalipun Presiden tak menandatangani setelah 30 hari disahkan oleh DPR. Namun, menurut dia, langkah Jokowi tersebut cukup untuk menunda penggunaan UU tersebut.
"Tetaplah pada ketegasan itu untuk tidak perlu ditandatangani," ucap dia.
(Baca juga:
Ketua DPR Nilai Presiden tak Perlu Terbitkan Perppu MD3)
Salah satu hasil revisi yang menjadi sorotan antara lain, Pasal 122 huruf K. Pasal tersebut berbunyi, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) berhak melakukan pelaporan terkait adanya pelanggaran hukum terhadap pihak-pihak yang melakukan penghinaan terhadap anggota DPR dan lembaga DPR.
Selain menolak menandatangani dan mengeluarkan Perppu, Deputi Direktur PARA Syndicate itu memandang Presiden harus mengakui kecolongan dengan keluarnya pasal-pasal pada hasil revisi UU MD3 ini.
Presiden dinilai perlu menegur Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang mewakili pemerintah dalam pembahasan UU ini dengan DPR.
"Pemerintah harus bisa jadi penyeimbang penguasaan. Jadi di sini kegagalan pemerintah. Tegurlah Pak Menkumham, tegurlah Pak Menteri. Mungkin tegurannya bisa pencopotan atau hanya Presiden yang tahu," kata dia.
(Baca juga:
Menguliti Revisi UU MD3)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(REN)