Anggota Komisi II dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera. (Foto: MI/Atet Dwi Pramadia).
Anggota Komisi II dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera. (Foto: MI/Atet Dwi Pramadia).

PKS Anggap tak Ada Kekosongan Hukum dalam Mengatur Ormas

Ilham wibowo • 16 Oktober 2017 19:13
medcom.id, Jakarta: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dianggap tidak sah karena tak memenuhi unsur urgensi. Fraksi PKS di DPR siap membahas dan akan menolak bila isi Perppu Nomor 2 Tahun 2017 itu tak sejalan dengan pandangan PKS. 
 
"Fraksi PKS menilai bahwa penerbitan Perppu tentang Ormas tidak memenuhi urgensi," kata Anggota Komisi II dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin 16 Oktober 2017.
 
Menurutnya, penerbitan perppu layaknya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 138/PUU-VII/2009 tentang perkara Permohonan Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menerjemahkan terkait kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UUD 1945 sehingga memerlukan perppu.

(Baca juga: Gerindra Tolak Perppu Ormas jadi Undang-Undang)
 
Sementara UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas sudah mengatur prosedur pemberian sanksi terhadap ormas yang melakukan pelanggaran. Maka penerbitan Perppu Ormas tidak berdasar lantaran beleid terdahulu dianggap sudah sempurna.
 
"Dengan demikian, penerbitan Perpu tentang Ormas ini tidak memenuhi prasyarat prosedural yang ditetapkan. Karena pada praktiknya, UU tentang Ormas telah memadai sehingga tidak terjadi kekosongan hukum," ucapnya. 
 
Selain itu, Mardani menyebut Perppu Ormas justru membatasi hak atas berserikat dan berkumpul. Hal ini bertentangan dengan prinsip negara hukum yang demokratis. 
 
"Pembatasan terhadap hak-hak berserikat dan berkumpul yang diakomodasi dalam Perppu tentang Ormas sangatlah mengancam kehidupan demokratis dalam negara hukum," kata dia. 
 
?(Baca juga: DPR dan Pemerintah Lanjutkan Pembahasan Perppu Ormas)
 
Perppu itu juga mengandung ambiguitas sehingga rawan ditafsirkan secara sewenang-wenang oleh pelaksana kebijakan. Sebab selain menghilangkan peran pengadilan dalam pembubaran ormas, pemerintah juga menyederhanakan dan menghilangkan tahapan-tahapan pembubaran ormas yang sebelumnya diatur secara berjenjang dalam UU 17/2013.
 
"Perppu Ormas berpotensi memunculkan rezim otoriter dengan menghilangkan peran pengadilan dalam pembubaran Ormas. Hal yang sangat krusial dan fatal yang diatur dalam Perppu tentang Ormas sehingga menjadikan perppu ini sebagai ancaman bagi pelaksanaan demokrasi di negara hukum Indonesia, adalah dihilangkannya peran pengadilan dalam pembubaran ormas dan diambil alih oleh pemerintah," tutur Mardani. 
 
Perppu tentang Ormas juga memuat sanksi pidana yang berpotensi disalahgunakan untuk melakukan kriminalisasi. Mardani bilang, lewat perppu ini pemerintah bisa menambah berat sanksi pidana dalam hal penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dilakukan oleh orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus ormas. Karena, pidana penjara menjadi seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. 
 
"Pemberian sanksi pidana ini tentu memperberat pemidanaan dalam tindak pidana penyalahgunaan, penistaan, dan penodaan terhadap agama," kata dia.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(HUS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan