Jakarta: Tiga komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK). UU itu dinilai sudah tertinggal dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"UU Pemilu ini lahir dari evaluasi pemilu-pemilu sebelumnya, termasuk pilkada," kata kuasa hukum pemohon, Veri Junaidi, di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa, 17 September 2019.
Veri menilai banyak perkembangan positif tertuang dalam UU Pemilu, namun belum terakomodasi di UU Pilkada. Dia mencontohkan kelembagaan penyelenggara pemilu tersusun lebih rapi ketimbang aturan sebelumnya.
Dia juga menilai terjadi perkembangan positif dalam konteks penanganan pelanggaran administrasi di UU Pemilu. Veri menuturkan dalam undang-undang itu produk yang dikeluarkan Bawaslu disebut sebagai putusan, bukan lagi rekomendasi.
"Ada banyak tahapan-tahapan dalam konteks penegakan hukum yang seharusnya sudah diupdate UU Pilkada-nya," ujar Veri.
Veri mengaku terlalu sulit mengubah UU Pilkada lewat uji materi di MK. Dia mendorong legislator menyempurnakan kembali UU Pilkada dengan menyesuaikan perubahan dalam UU Pemilu.
"Kita berharap ada perubahan UU Pilkada terhadap isu-isu krusial tertentu," tutur dia.
Uji materi ini diajukan Ketua Bawaslu Provinsi Sumatra Barat, Surya Efitrimen; Ketua Bawaslu Kota Makassar, Nursari; serta Komisioner Bawaslu Kabupaten Ponorogo, Munarimbawan. Gugatan teregistrasi di nomor perkara 48/PUU-XVII/2019.
MK memberikan masukan dan catatan terkait permohonan pemohon setelah sidang pendahuluan. Para pemohon diberikan kesempatan memperbaiki permohonan hingga 14 hari ke depan.
"Kalau ingin melakukan perbaikan silakan, namun kalau ingin memasukkan perbaikan lebih awal, kita juga bisa mengagendakan sidang lebih awal," ujar Ketua Majelis Hakim MK, Aswanto.
Jakarta: Tiga komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota
mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK). UU itu dinilai sudah tertinggal dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"UU Pemilu ini lahir dari evaluasi pemilu-pemilu sebelumnya, termasuk pilkada," kata kuasa hukum pemohon, Veri Junaidi, di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa, 17 September 2019.
Veri menilai banyak perkembangan positif tertuang dalam UU Pemilu, namun belum terakomodasi di UU Pilkada. Dia mencontohkan kelembagaan penyelenggara pemilu tersusun lebih rapi ketimbang aturan sebelumnya.
Dia juga menilai terjadi perkembangan positif dalam konteks penanganan pelanggaran administrasi di UU Pemilu. Veri menuturkan dalam undang-undang itu produk yang dikeluarkan Bawaslu disebut sebagai putusan, bukan lagi rekomendasi.
"Ada banyak tahapan-tahapan dalam konteks penegakan hukum yang seharusnya sudah diupdate UU Pilkada-nya," ujar Veri.
Veri mengaku terlalu sulit mengubah UU Pilkada lewat uji materi di MK. Dia mendorong legislator
menyempurnakan kembali UU Pilkada dengan menyesuaikan perubahan dalam UU Pemilu.
"Kita berharap ada perubahan UU Pilkada terhadap isu-isu krusial tertentu," tutur dia.
Uji materi ini diajukan Ketua Bawaslu Provinsi Sumatra Barat, Surya Efitrimen; Ketua Bawaslu Kota Makassar, Nursari; serta Komisioner Bawaslu Kabupaten Ponorogo, Munarimbawan. Gugatan teregistrasi di nomor perkara 48/PUU-XVII/2019.
MK memberikan masukan dan catatan terkait permohonan pemohon setelah sidang pendahuluan. Para pemohon diberikan kesempatan memperbaiki permohonan hingga 14 hari ke depan.
"Kalau ingin melakukan perbaikan silakan, namun kalau ingin memasukkan perbaikan lebih awal, kita juga bisa mengagendakan sidang lebih awal," ujar Ketua Majelis Hakim MK, Aswanto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)