Jakarta: Kasus Djoko Tjandra membuktikan kurangnya koordinasi antarpenegak hukum di Indonesia. Terutama terkait pengawasan buron yang masuk daftar pencarian orang (DPO).
"Manajemen atau pengelolaan orang yang buron atau DPO itu harus diperbaiki," tegs anggota Komisi III Arsul Sani di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 10 Juni 2020.
Wakil Ketua MPR itu menyebut harus ada perbaikan koordinasi lintas sektoral terkait DPO. Sebab, masing-masing instansi bergerak sendiri sesuai tugas pokok dan fungsinya.
"Karena kalau masih seperti sekarang, polisi sendiri, kejaksaan sendiri, imigrasi sendiri ya lolos terus. Akan terulang kasus-kasus seperti Djoko Tjandra," ungkap dia.
Baca: Mahfud: Malu Negara Dipermaikan Djoko Tjandra
Menurut dia, data terkait DPO harus terintegrasi. Sehingga, mempermudah koordinasi setiap instansi dan pengawasan bisa dilakukan maksimal.
Pemusatan koordinasi juga mempermudah pembaruan data buron dalam DPO. Data diperbarui dalam jangka waktu tertentu.
"Minimal enam bulan itu harus di-update dan update itu harus sampai ke semua jajaran pemerintahan terkait. Sampai lurah gitu loh. Datanya itu harus diberikan," ujar dia.
Status red notice Djoko berakhir sejak Mei 2020. Pencabutan dilakukan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) berdasarkan pemberitahuan pihak NCB Interpol.
"Pada 5 Mei 2020 ada pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol bahwa dari red notice atas nama Djoko Soegiarto Tjandra telah terhapus dari sistem berbasis data karena tidak ada permintaan lagi dari Kejaksaan Agung RI," kata Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Arvin Gumilang di Jakarta, Selasa, 30 Juni 2020.
Jakarta: Kasus Djoko Tjandra membuktikan kurangnya koordinasi antarpenegak hukum di Indonesia. Terutama terkait pengawasan buron yang masuk daftar pencarian orang (DPO).
"Manajemen atau pengelolaan orang yang buron atau DPO itu harus diperbaiki," tegs anggota Komisi III Arsul Sani di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 10 Juni 2020.
Wakil Ketua MPR itu menyebut harus ada perbaikan koordinasi lintas sektoral terkait DPO. Sebab, masing-masing instansi bergerak sendiri sesuai tugas pokok dan fungsinya.
"Karena kalau masih seperti sekarang, polisi sendiri, kejaksaan sendiri, imigrasi sendiri ya lolos terus. Akan terulang kasus-kasus seperti Djoko Tjandra," ungkap dia.
Baca: Mahfud: Malu Negara Dipermaikan Djoko Tjandra
Menurut dia, data terkait DPO harus terintegrasi. Sehingga, mempermudah koordinasi setiap instansi dan pengawasan bisa dilakukan maksimal.
Pemusatan koordinasi juga mempermudah pembaruan data buron dalam DPO. Data diperbarui dalam jangka waktu tertentu.
"Minimal enam bulan itu harus di-
update dan
update itu harus sampai ke semua jajaran pemerintahan terkait. Sampai lurah gitu
loh. Datanya itu harus diberikan," ujar dia.
Status
red notice Djoko berakhir sejak Mei 2020. Pencabutan dilakukan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) berdasarkan pemberitahuan pihak NCB Interpol.
"Pada 5 Mei 2020 ada pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol bahwa dari
red notice atas nama Djoko Soegiarto Tjandra telah terhapus dari sistem berbasis data karena tidak ada permintaan lagi dari Kejaksaan Agung RI," kata Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Arvin Gumilang di Jakarta, Selasa, 30 Juni 2020.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)