Jakarta: Pakar hukum tata negara Feri Amsari mengatakan isu ditambahnya jumlah kementerian dari 34 menjadi 40 akan membuat penyelenggaraan negara menjadi tidak efektif. Ia melihat ini hanyalah gagasan yang muncul bagaimana bagi-bagi kekuasaan akan menjadi jauh lebih besar ke depan.
"Ini bagi saya tidak efektif. Beberapa negara yang sistem kabinetnya lebih efisien hanya membagi menteri menjadi 11 - 15 kementerian," kata Feri, dikutip dari YouTubenya, Kamis, 9 Mei 2024.
Pusat studi konstitusi pernah mengusulkan di tahun 2013-2014 bahwa kabinet sebaiknya hanya 26 menteri. Beberapa menteri akan membawahi beberapa kementerian.
"Ini bukan soal menumpuk kekuasaan di satu menteri tertentu, melainkan soal efektifnya proses penyelenggaraan negara yang kami pikirkan ketika itu. Kalau kemudian dibuat 26 menteri, dan 26 kementerian, dimana beberapa kementerian digabung, itu akan memberikan berbagai excess luar biasa," ujar dia.
Salah satunya, dengan dileburnya kementerian, maka akan berimbas ke birokrasinya, seperti kop suratnya berganti, lambang di depannya berganti, nomenklatur lain-lainnya berganti. Itu, menurut Feri akan memberikan beban keuangan negara.
"Kami mempertimbangkan, jumlah kementerian tetap 34. Tetapi di antara kementerian itu ada 1 menteri yang ditugaskan membawahi satu atau dua kementerian. Syaratnya, dia harus mampu mengefektifkan agar kerja kementerian di bawah secara teknis tidak bertabrakan," kata Feri.
Ia mengungkapkan, konsep para menteri itu berbeda dalam berbagai sistem pemerintahan. Membahas sistem presidensial dan kabinetnya, Indonesia memiliki catatan mengenai kabinet tersebut.
Feri mengatakan, catatan soal kabinet di Indonesia cukup panjang. Antara lain Kabinet 100 menteri, yang kurang lebih memperlihatkan promo betapa tidak efektifnya proses penyelenggaraan pemerintahan.
"Itu dianggap sebagai catatan sejarah soal pembentukan kabinet di Indonesia di era Presiden Soekarno," kata Feri.
Catatan lainnya, di era Presiden Soeharto, memang tidak sampai ke 100 menteri. Tetapi catatannya lebih banyak kepada mendominasi kekuasaan.
Di era Soeharto, para menteri betul-betul mengejawantahkan sudut pandang rezim ketika itu dan tidak ada inovasi. Yang ada adalah memastikan kekuasaan itu lebih dominan.
"Makanya di era Soeharto timbul executive heavy, punya kecenderungan kekuasaan lebih berat kepada kekuasaan eksekutif," kata dia.
Padahal di dalam konsep pembagian cabang kekuasaan mestinya ada perimbangan. Parlemen juga akan menjadi "rival" dari eksekutif dalam memastikan kehendak dan daulat rakyat bisa berjalan.
"Ini juga bagian dari tugas para menteri," kata Feri.
Jakarta: Pakar hukum tata negara Feri Amsari mengatakan isu ditambahnya jumlah
kementerian dari 34 menjadi 40 akan membuat penyelenggaraan negara menjadi tidak efektif. Ia melihat ini hanyalah gagasan yang muncul bagaimana bagi-bagi kekuasaan akan menjadi jauh lebih besar ke depan.
"Ini bagi saya tidak efektif. Beberapa negara yang
sistem kabinetnya lebih efisien hanya membagi menteri menjadi 11 - 15 kementerian," kata Feri, dikutip dari YouTubenya, Kamis, 9 Mei 2024.
Pusat studi konstitusi pernah mengusulkan di tahun 2013-2014 bahwa kabinet sebaiknya hanya 26 menteri. Beberapa menteri akan membawahi beberapa kementerian.
"Ini bukan soal menumpuk kekuasaan di satu menteri tertentu, melainkan soal efektifnya proses penyelenggaraan negara yang kami pikirkan ketika itu. Kalau kemudian dibuat 26 menteri, dan 26 kementerian, dimana beberapa kementerian digabung, itu akan memberikan berbagai
excess luar biasa," ujar dia.
Salah satunya, dengan dileburnya kementerian, maka akan berimbas ke birokrasinya, seperti kop suratnya berganti, lambang di depannya berganti, nomenklatur lain-lainnya berganti. Itu, menurut Feri akan memberikan beban keuangan negara.
"Kami mempertimbangkan, jumlah kementerian tetap 34. Tetapi di antara kementerian itu ada 1 menteri yang ditugaskan membawahi satu atau dua kementerian. Syaratnya, dia harus mampu mengefektifkan agar kerja kementerian di bawah secara teknis tidak bertabrakan," kata Feri.
Ia mengungkapkan, konsep para menteri itu berbeda dalam berbagai sistem pemerintahan. Membahas sistem presidensial dan kabinetnya, Indonesia memiliki catatan mengenai kabinet tersebut.
Feri mengatakan, catatan soal kabinet di Indonesia cukup panjang. Antara lain Kabinet 100 menteri, yang kurang lebih memperlihatkan promo betapa tidak efektifnya proses penyelenggaraan pemerintahan.
"Itu dianggap sebagai catatan sejarah soal pembentukan kabinet di Indonesia di era Presiden Soekarno," kata Feri.
Catatan lainnya, di era Presiden Soeharto, memang tidak sampai ke 100 menteri. Tetapi catatannya lebih banyak kepada mendominasi kekuasaan.
Di era Soeharto, para menteri betul-betul mengejawantahkan sudut pandang rezim ketika itu dan tidak ada inovasi. Yang ada adalah memastikan kekuasaan itu lebih dominan.
"Makanya di era Soeharto timbul
executive heavy, punya kecenderungan kekuasaan lebih berat kepada kekuasaan eksekutif," kata dia.
Padahal di dalam konsep pembagian cabang kekuasaan mestinya ada perimbangan. Parlemen juga akan menjadi "rival" dari eksekutif dalam memastikan kehendak dan daulat rakyat bisa berjalan.
"Ini juga bagian dari tugas para menteri," kata Feri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)