Jakarta: Pemerintah dan DPR diminta arif menyikapi protes penghidupan kembali pasal penghinaan presiden yang ada di revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sebelumnya, Pasal 218 dan 2019 itu ditentang keras masyarakat.
"Jadi memang pandangan saya pemerintah dan DPR bisa mengkaji ulang," kata anggota Komisi III DPR Nasir Djamil saat dihubungi, Rabu, 22 Juni 2022.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengaku wajar jika masyarakat tak menginginkan keberadaan pasal tersebut. Sebab, dapat mengancam kebebasan berpendapat.
Baca: Pemerintah Berkukuh Mempertahankan Pasal Penghinaan Presiden
Apalagi, kebebasan berpendapat dianggap turun berdasarkan hasil lembaga survei. Tak heran jika masyarakat tidak menginginkan keberadaan pasal tersebut.
"Ini yang dikhawatirkan oleh banyak orang, terutama aktivis pro-demokrasi. Pasal ini dianggap bakal menghambat jalannya demokrasi," ungkap dia.
Nasir menerangkan pasal penghinaan presiden yang bersifat delik umum telah dihapus sebelumnya. Penghapusan tersebut berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
Pasal penghinaan presiden kemudian muncul kembali dalam draf revisi KUHP. Namun, ketentuan tersebut bersifat delik aduan.
"Jadi ini seperti pasal zombie namanya. Udah mati, hidup kembali," sebut dia.
Dia menyampaikan pengubahan sifat pasal dari delik umum menjadi aduan tak menjamin bisa menjaga iklim demokrasi tetap baik. Sebab, ada potensi pasal tersebut tetap digunakan.
Hal itu mengacu pada pengalaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang melaporkan Zaenal Ma'arif pada 2007. Eks Wakil Ketua DPR itu dilaporkan karena pernyataannya yang menyebut SBY pernah menikah sebelum masuk Akademi Militer (Akmil).
"Jadi memang pandangan saya pemerintah dan DPR bisa mengkaji ulang karena ini pasal yang sudah dibatalkan oleh MK," ujar dia
Jakarta: Pemerintah dan
DPR diminta arif menyikapi protes penghidupan kembali pasal penghinaan
presiden yang ada di revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sebelumnya, Pasal 218 dan 2019 itu ditentang keras masyarakat.
"Jadi memang pandangan saya pemerintah dan DPR bisa mengkaji ulang," kata anggota Komisi III DPR Nasir Djamil saat dihubungi, Rabu, 22 Juni 2022.
Politikus
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengaku wajar jika masyarakat tak menginginkan keberadaan pasal tersebut. Sebab, dapat mengancam kebebasan berpendapat.
Baca:
Pemerintah Berkukuh Mempertahankan Pasal Penghinaan Presiden
Apalagi, kebebasan berpendapat dianggap turun berdasarkan hasil lembaga survei. Tak heran jika masyarakat tidak menginginkan keberadaan pasal tersebut.
"Ini yang dikhawatirkan oleh banyak orang, terutama aktivis pro-demokrasi. Pasal ini dianggap bakal menghambat jalannya demokrasi," ungkap dia.
Nasir menerangkan pasal penghinaan presiden yang bersifat delik umum telah dihapus sebelumnya. Penghapusan tersebut berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
Pasal penghinaan presiden kemudian muncul kembali dalam draf revisi KUHP. Namun, ketentuan tersebut bersifat delik aduan.
"Jadi ini seperti pasal
zombie namanya. Udah mati, hidup kembali," sebut dia.
Dia menyampaikan pengubahan sifat pasal dari delik umum menjadi aduan tak menjamin bisa menjaga iklim demokrasi tetap baik. Sebab, ada potensi pasal tersebut tetap digunakan.
Hal itu mengacu pada pengalaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang melaporkan Zaenal Ma'arif pada 2007. Eks Wakil Ketua DPR itu dilaporkan karena pernyataannya yang menyebut SBY pernah menikah sebelum masuk Akademi Militer (Akmil).
"Jadi memang pandangan saya pemerintah dan DPR bisa mengkaji ulang karena ini pasal yang sudah dibatalkan oleh MK," ujar dia
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEV)