Jakarta: Laporan studi The Habibie Center menyebut pandemi covid-19 yang sudah berjalan selama setahun di Indonesia membuat kualitas demokrasi semakin menurun. Hal itu termaktub dalam laporan berjudul "Pandemi, Demokrasi, dan Ekstremisme Berkekerasan di Indonesia" yang disusun empat peneliti dan tiga staf pendukung.
Laporan setebal 48 halaman yang terbit pada Februari 2021 itu membeberkan bagaimana indeks demokrasi Indonesia anjlok selama pandemi covid-19. Selama pandemi, ancaman dari kelompok radikal dan ekstremis meningkat.
Kelompok-kelompok itu berupaya mengeksploitasi krisis sosial-ekonomi yang dipicu oleh pandemi. Mereka juga membangun narasi bahwa pandemi merupakan waktu yang tepat untuk melakukan serangan terhadap pemerintah dan aparat keamanan.
Peningkatan ancaman ini seiring dengan kurang sigapnya pemerintah Indonesia merespons pandemi. Kasus aktif terus meningkat.
"Respons sektoral yang dilakukan pemerintah cenderung tumpang tindih dan tanpa koordinasi. Ditambah dengan koordinasi pusat dan daerah yang juga menghambat penanganan pandemi," demikian dikutip dari laporan, Rabu, 3 Maret 2021.
Baca: Pembelaan Pemerintah Terhadap Menurunnya Indeks Demokrasi Indonesia
Berikut empat temuan Habibie Center atas penurunan kualitas demokrasi selama pandemi covid-19 di Indonesia:
1. Covid-19 mendorong penurunan demokrasi
The Habibie Center mencatat pembatasan pada setiap aspek yang dilakukan pemerintah dalam merespons pandemi membuat partisipasi publik semakin terbatas pada keputusan-keputusan politik penting di masa pandemi. Pemerintah juga melakukan sekuritisasi penanganan pandemi, khususnya dengan menempatkan aktor keamanan dalam struktur penanganan pandemi. Termasuk pengerahan aktor keamanan untuk mendukung kebijakan penanganan covid-19 di lapangan.
Penelitian ini juga menemukan bahwa terjadi tumpang tindih respons sektoral pemerintah pusat dalam upaya tanggap pandemi. Tarik menarik pusat dan daerah dalam penanganan pandemi pada akhirnya mengarah pada persepsi tentang adanya upaya penguatan sentralisasi kekuasaan oleh pemerintah pusat.
2. Gejala intoleransi meningkat
Tindakan intoleransi yang terjadi sebagian besar masih sama dengan yang terjadi sebelum adanya pandemi. Misalnya, adanya upaya menghalangi ibadah atau menghalangi pembangunan rumah ibadah agama lain.
Di sisi lain, berkembangnya kelompok-kelompok intoleran menjadi salah satu ajang bagi kelompok-kelompok ekstremisme berkekerasan untuk melakukan perekrutan. Bagi kelompok-kelompok ekstremisme berkekerasan, pandemi dipandang sebagai waktu yang tepat untuk melakukan penyebaran paham mereka.
3. Kelompok ekstremisme beraksi
Kelompok ekstremisme berkekerasan membangun narasi bahwa pandemi covid-19 adalah azab dari Tuhan. Kelompok ini membuat narasi bahwa covid-19 merupakan balasan atas kezaliman pemerintah, baik di dalam negeri maupun secara global.
Kelompok-kelompok ekstremisme berkekerasan juga membangun narasi bahwa masa pandemi adalah waktu yang tepat untuk melakukan serangan karena pemerintah sedang mengerahkan hampir semua sumberdaya untuk merespons pandemi.
4. Peran militer menebal
Dalam derajat tertentu pandemi covid-19 juga melemahkan kemampuan aktor negara dan non-negara dalam merespons ekstremisme berkekerasan. Pembatasan fisik dan sosial telah menghambat berbagai kegiatan kontraekstremisme berkekerasan dan deradikalisasi.
Sebaliknya, yang lebih terlihat adalah sekuritisasi penanganan ekstremisme berkekerasan pada masa pandemi dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan lain. Selain itu, rancangan Perpres tentang pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme yang melampaui peran dan kewenangannya.
Kecenderungan menguatnya sekuritasi penanganan ekstremisme berkekerasan dalam rancangan Perpres tersebut harus ditelaah lebih serius, khususnya terkait dengan implikasinya terhadap perjalanan demokrasi di Indonesia. Terlebih lagi, sejarah Indonesia di masa lalu telah menunjukkan bahwa ketika posisi aktor-aktor keamanan sudah terlalu kuat maka upaya desekuritisasi akan sulit dilakukan sehingga mengancam kelangsungan demokrasi di Indonesia.
Jakarta: Laporan studi The Habibie Center menyebut pandemi covid-19 yang sudah berjalan selama setahun di Indonesia membuat
kualitas demokrasi semakin menurun. Hal itu termaktub dalam laporan berjudul "Pandemi, Demokrasi, dan Ekstremisme Berkekerasan di Indonesia" yang disusun empat peneliti dan tiga staf pendukung.
Laporan setebal 48 halaman yang terbit pada Februari 2021 itu membeberkan bagaimana indeks demokrasi Indonesia anjlok selama
pandemi covid-19. Selama pandemi, ancaman dari kelompok radikal dan ekstremis meningkat.
Kelompok-kelompok itu berupaya mengeksploitasi krisis sosial-ekonomi yang dipicu oleh pandemi. Mereka juga membangun narasi bahwa pandemi merupakan waktu yang tepat untuk melakukan serangan terhadap pemerintah dan aparat keamanan.
Peningkatan ancaman ini seiring dengan kurang sigapnya pemerintah Indonesia merespons pandemi. Kasus aktif terus meningkat.
"Respons sektoral yang dilakukan pemerintah cenderung tumpang tindih dan tanpa koordinasi. Ditambah dengan koordinasi pusat dan daerah yang juga menghambat penanganan pandemi," demikian dikutip dari laporan, Rabu, 3 Maret 2021.
Baca:
Pembelaan Pemerintah Terhadap Menurunnya Indeks Demokrasi Indonesia
Berikut empat temuan Habibie Center atas penurunan kualitas demokrasi selama pandemi covid-19 di Indonesia:
1. Covid-19 mendorong penurunan demokrasi
The Habibie Center mencatat pembatasan pada setiap aspek yang dilakukan pemerintah dalam merespons pandemi membuat partisipasi publik semakin terbatas pada keputusan-keputusan politik penting di masa pandemi. Pemerintah juga melakukan sekuritisasi penanganan pandemi, khususnya dengan menempatkan aktor keamanan dalam struktur penanganan pandemi. Termasuk pengerahan aktor keamanan untuk mendukung kebijakan penanganan covid-19 di lapangan.
Penelitian ini juga menemukan bahwa terjadi tumpang tindih respons sektoral pemerintah pusat dalam upaya tanggap pandemi. Tarik menarik pusat dan daerah dalam penanganan pandemi pada akhirnya mengarah pada persepsi tentang adanya upaya penguatan sentralisasi kekuasaan oleh pemerintah pusat.
2. Gejala intoleransi meningkat
Tindakan intoleransi yang terjadi sebagian besar masih sama dengan yang terjadi sebelum adanya pandemi. Misalnya, adanya upaya menghalangi ibadah atau menghalangi pembangunan rumah ibadah agama lain.
Di sisi lain, berkembangnya kelompok-kelompok intoleran menjadi salah satu ajang bagi kelompok-kelompok ekstremisme berkekerasan untuk melakukan perekrutan. Bagi kelompok-kelompok ekstremisme berkekerasan, pandemi dipandang sebagai waktu yang tepat untuk melakukan penyebaran paham mereka.
3. Kelompok ekstremisme beraksi
Kelompok ekstremisme berkekerasan membangun narasi bahwa pandemi covid-19 adalah azab dari Tuhan. Kelompok ini membuat narasi bahwa covid-19 merupakan balasan atas kezaliman pemerintah, baik di dalam negeri maupun secara global.
Kelompok-kelompok ekstremisme berkekerasan juga membangun narasi bahwa masa pandemi adalah waktu yang tepat untuk melakukan serangan karena pemerintah sedang mengerahkan hampir semua sumberdaya untuk merespons pandemi.
4. Peran militer menebal
Dalam derajat tertentu pandemi covid-19 juga melemahkan kemampuan aktor negara dan non-negara dalam merespons ekstremisme berkekerasan. Pembatasan fisik dan sosial telah menghambat berbagai kegiatan kontraekstremisme berkekerasan dan deradikalisasi.
Sebaliknya, yang lebih terlihat adalah sekuritisasi penanganan ekstremisme berkekerasan pada masa pandemi dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan lain. Selain itu, rancangan Perpres tentang pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme yang melampaui peran dan kewenangannya.
Kecenderungan menguatnya sekuritasi penanganan ekstremisme berkekerasan dalam rancangan Perpres tersebut harus ditelaah lebih serius, khususnya terkait dengan implikasinya terhadap perjalanan demokrasi di Indonesia. Terlebih lagi, sejarah Indonesia di masa lalu telah menunjukkan bahwa ketika posisi aktor-aktor keamanan sudah terlalu kuat maka upaya desekuritisasi akan sulit dilakukan sehingga mengancam kelangsungan demokrasi di Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)