Anggota Komisi II DPR Saan Mustopa. Medcom.id/Siti Yona
Anggota Komisi II DPR Saan Mustopa. Medcom.id/Siti Yona

Putusan MK Soal Menteri Tak Harus Mundur Berpotensi Menyulitkan Presiden

Indriyani Astuti • 01 November 2022 15:10
Jakarta: Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai menteri yang tidak harus mengundurkan diri ketika maju sebagai calon presiden pada pemilihan umum (pemilu), berpotensi menyulitkan presiden. Putusan MK juga akan berdampak luas antara lain terganggunya kerja pemerintahan, penyalahgunaan kewenangan, dan penggunaan fasilitas negara.
 
"Kita menghargai dan menghormati apa yang sudah diputuskan oleh MK. Mungkin MK punya pertimbangan dan sifat putusannya final dan mengikat. Saya sendiri menyayangkan Putusan MK," kata anggota Komisi II DPR Saan Mustopa ketika dihubungi, Selasa, 1 November 2022.
 
Ia menjelaskan ketika menteri mundur dan hanya cuti, tergantung izin dari presiden. Hal itu tentu membuat dilema bagi presiden. Di satu sisi presiden harus menghormati hak seseorang mencalonkan diri, namun di satu sisi presiden menyadari apabila menteri mundur kinerja di pemerintahan akan terganggu.

MK pada putusan perkara nomor 68/PUU-XX/2022 yang diajukan Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda) menyatakan frase 'pejabat negara' dalam Pasal 170 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Pasal 170 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 2017 mewajibkan pejabat negara mengundurkan diri dari jabatannya saat mencalonkan diri sebagai presiden. 
 
Pengecualian diberikan kepada presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota dan menteri. MK menambahkan menteri atau pejabat setingkat menteri hanya mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari presiden.
 
Saan menyebut jabatan menteri berbeda dengan kepala daerah. Kepala daerah tidak harus mundur saat mencalonkan diri kembali dan hanya cukup mengajukan cuti untuk kampanye di daerah yang menjadi fokus pemilihannya. Namun, apabila menteri mencalonkan diri sebagai presiden, lingkup wilayah dia melakukan kampanye lebih luas, tidak cukup hanya dengan cuti.
 
"Menteri akan lebih fokus pada pemenangan di pemilu, berbeda dengan kepala daerah yang tidak harus mundur ketika maju mencalonkan diri kembali, wilayahnya kecil. Sedangkan pemilu presiden berskala nasional. Bagaimana dengan 34 provinsi dan 500 lebih kabupaten/kota, medannya luas," ungkapnya.
 

Baca juga: Tak Diwajibkan Mundur, Menteri Ingin Nyapres Seharusnya Izin ke Presiden


 
Saan mengungkapkan banyak konsekuensi dari sisi apapun. Misalnya ketika seorang menteri maju sebagai calon presiden, pasti dia ingin menang. Oleh karena itu, dia akan maksimal dengan waktu yang lama karena tidak mungkin hanya kampanye satu minggu dengan cuti, dan tidak hanya pada saat mendaftarkan diri di KPU.
 
Ia menilai meskipun keputusan pemberian izin pada menteri merupakan kewenangan presiden, ia berpendapat lebih baik presiden tegas mengganti menteri-menteri yang mencalonkan diri pada pemilihan presiden (pilpres). Keputusan itu dinilainya lebih baik dibandingkan mengikuti putusan MK.
 
"Di-reshuffle saja menterinya. Kalau pertimbangan MK tidak harus mundur, tetapi seizin presiden, presiden tegas saja siapa menteri yang maju di pilpres harus diberhentikan bukan memberikan izin cuti. Menurut saya itu jauh lebih bagus," ujar dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan