Jakarta: Jabatan strategis dinilai kerap dijadikan komoditas politik. Tak ayal, praktik jual beli jabatan seakan lumrah terjadi di berbagai institusi dan lembaga pemerintahan.
"Jabatan politik diliberalisasikan. Semua jabatan yang dipilih melalui pemilu dan pemilihan tidak langsung itu banyak sekali dan jadi politisasi," ungkap pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie dalam diskusi di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Rabu, 27 Maret 2019.
Menurut dia, praktik serupa juga terjadi pada jabatan administrasi di kementerian dan lembaga. Awalnya, ada sistem lelang yang dilakukan untuk mengurangi praktik kecurangan dalam seleksi jabatan.
Niat sistem lelang itu, kata dia, cukup baik. Namun, tanpa disadari jabatan administrasi juga jadi komoditas yang diperebutkan. Sementara itu, budaya transaksional dalam pengisian jabatan belum bisa diubah.
Jimly mengatakan hal itu disebabkan faktor non-merit seperti sikap kedaerahan atau sikap agama. Misalnya, kalau ada pejabat dari Jawa Barat (Jabar), yang diloloskan menjadi pejabat juga orang dari Jabar.
Baca juga: Mayoritas Kementerian dan Lembaga Jual Beli Jabatan
Sedangkan, kalau pejabatnya dari Padang, yang dipilih juga orang Padang. Kalau pejabatnya berasal dari Bugis, yang dipilih yakni orang Makassar.
"Jadi ada faktor primordial yang masih membudaya. Dan link organisasi nonpolitik namun semipolitik, misalnya ormas keagamaan. Terutama beberapa kementerian yang khas. Setelah orde baru berusaha mengatasi problem budaya," ujar dia.
Selain itu, biaya partai politik yang makin mahal juga dinilai menjadi penyebab munculnya praktik jual beli jabatan. Karena itu, negara perlu memberikan biaya untuk parpol agar praktik culas ini bisa berkurang.
"Kalau partai politik terus cari duit sendiri kan repot. Itu problem serius dan perlu tahapan lebih lanjut. Boleh jadi belun sempurna juga," kata dia.
Jimly menambahkan kementerian dan lembaga juga memerlukan orang yang memiliki sifat enlightment personalities. Karakter setiap individu juga harus diubah sehingga sistem birokrasinya membaik.
"Kalau enggak berubah, jemaah di luar birokrasi sudah berubah. Orang jalan di Sudirman kalau dia teriak dulu dianggap gila. Kalau sekarang sebaliknya. Ada zaman berubah, depersonalisasi juga harus ada perubahan," pungkas dia.
Jakarta: Jabatan strategis dinilai kerap dijadikan komoditas politik. Tak ayal, praktik jual beli jabatan seakan lumrah terjadi di berbagai institusi dan lembaga pemerintahan.
"Jabatan politik diliberalisasikan. Semua jabatan yang dipilih melalui pemilu dan pemilihan tidak langsung itu banyak sekali dan jadi politisasi," ungkap pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie dalam diskusi di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Rabu, 27 Maret 2019.
Menurut dia, praktik serupa juga terjadi pada jabatan administrasi di kementerian dan lembaga. Awalnya, ada sistem lelang yang dilakukan untuk mengurangi praktik kecurangan dalam seleksi jabatan.
Niat sistem lelang itu, kata dia, cukup baik. Namun, tanpa disadari jabatan administrasi juga jadi komoditas yang diperebutkan. Sementara itu, budaya transaksional dalam pengisian jabatan belum bisa diubah.
Jimly mengatakan hal itu disebabkan faktor non-merit seperti sikap kedaerahan atau sikap agama. Misalnya, kalau ada pejabat dari Jawa Barat (Jabar), yang diloloskan menjadi pejabat juga orang dari Jabar.
Baca juga:
Mayoritas Kementerian dan Lembaga Jual Beli Jabatan
Sedangkan, kalau pejabatnya dari Padang, yang dipilih juga orang Padang. Kalau pejabatnya berasal dari Bugis, yang dipilih yakni orang Makassar.
"Jadi ada faktor primordial yang masih membudaya. Dan link organisasi nonpolitik namun semipolitik, misalnya ormas keagamaan. Terutama beberapa kementerian yang khas. Setelah orde baru berusaha mengatasi problem budaya," ujar dia.
Selain itu, biaya partai politik yang makin mahal juga dinilai menjadi penyebab munculnya praktik jual beli jabatan. Karena itu, negara perlu memberikan biaya untuk parpol agar praktik culas ini bisa berkurang.
"Kalau partai politik terus cari duit sendiri kan repot. Itu problem serius dan perlu tahapan lebih lanjut. Boleh jadi belun sempurna juga," kata dia.
Jimly menambahkan kementerian dan lembaga juga memerlukan orang yang memiliki sifat
enlightment personalities. Karakter setiap individu juga harus diubah sehingga sistem birokrasinya membaik.
"Kalau enggak berubah, jemaah di luar birokrasi sudah berubah. Orang jalan di Sudirman kalau dia teriak dulu dianggap gila. Kalau sekarang sebaliknya. Ada zaman berubah, depersonalisasi juga harus ada perubahan," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)