Jakarta: Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari menganalisis bagaimana bahasa Indonesia memersatukan bangsa. Persatuan bangsa melalui bahasa dikukuhkan dalam Sumpah Pemuda yang diperingati tiap 28 Oktober.
"Adalah Bahasa Indonesia sebagai lingua franca, yang turut menanam saham untuk meretas problem identitas kultural," ujar Hasyim dalam esai yang dikutip Medcom.id pada Kamis, 27 Oktober 2022.
Menurut dia, bahasa Indonesia hadir dalam dua problem bangsa, yakni identitas dan loyalitas kultural. Hasyim menggunakan analisis sejarah nasionalisme untuk menjelaskan problem identitas kultural yang dimaksud Fred W Riggs dalam tulisannya 'Ethonational Rebellions and Viable Constitutionalism'.
Mengutip Fred, sejarah dunia mengalami tiga gelombang pasang nasionalisme. Hal tersebut, kata Hasyim, terjadi pula di Indonesia.
Dia memerinci gelombang pertama hadir ketika awal pembentukan Indonesia. "Pada gelombang ini, nasionalisme mempertegas perbedaan dengan komunitas lain, dan sekaligus mempertautkan kesamaan kultural untuk membangun suatu komunitas," ujar Hasyim.
Selain itu, gelombang kedua ialah nasionalisme yang berwujud liberalisasi sebuah komunitas atas dominasi komunitas lain dalam bentuk penjajahan. Hasyim melihat perjuangan dan pembebasan sebuah komunitas atas penjajahan bangsa merupakan suatu tahapan kesadaran.
Hal tersebut, kata dia, membangkitkan pembebasan suatu komunitas kebangsaan atas dominasi bangsa lain, berdasarkan motif apapun, baik ekonomi, politik, agama, dan budaya. Sementara itu, gelombang ketiga, yakni tsunami nasionalisme yang ditandai bangkitnya kesadaran ethnonasionalisme, berdasarkan suku, ras, bahasa, dan agama.
"Indonesia mengalami ketiga gelombang nasionalisme tersebut utamanya gelombang kedua meskipun terdapat riak-riak pemberontakan daerah yang turut mewarnai pemantapan negara-bangsa ini," kata Hasyim.
Menurut dia, bahasa Indonesia menjadi pemecah kebuntuan dari perlunya alat komunikasi sebagai pemersatu bangsa. Hal tersebut muncul dalam Kongres Pemuda di Batavia.
"Kesadaran atas perlunya sebuah alat komunikasi sebagai pemersatu bangsa sudah muncul sejak sebelum terbentuknya negara bangsa Indonesia 94 tahun lalu melalui Sumpah Pemuda," ujar Hasyim.
Dia mengatakan bahasa Indonesia, yang cikal bakalnya adalah Bahasa Melayu Riau-Lingga, dipilih sebagai alat untuk mempertemukan imagined community. Hasyim menggunakan teori Ben Anderson yang diungkap pada 1991 tentang suatu komunitas yang dibayangkan bersama, yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Republik Indonesia.
Hasyim menilai kesamaan penggunaan bahasa merupakan satu kondisi yang menguntungkan. Sehingga, mampu menjadi alat untuk mendamaikan konflik maupun kesalahpahaman yang terjadi.
Di sisi lain, dia melihat etnis mayoritas Jawa tidak memaksakan dominasi dalam berbahasa. Justru, Bahasa Melayu yang berasal dari minoritas Riau-Lingga yang dipilih secara alami sebagai Bahasa Indonesia.
"Pada titik inilah keadilan itu bermula. Persatuan itu tercipta karena bahasa keadilan," kata Hasyim.
Hal tersebut, kata dia, yang mendorong konsistensi KPU untuk menjadikan Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu. Sehingga, pemilu dapat menjadi ajang pemersatu bangsa, bukan pemecah belah.
Jakarta: Ketua Komisi Pemilihan Umum (
KPU) Hasyim Asy'ari menganalisis bagaimana bahasa Indonesia memersatukan bangsa. Persatuan bangsa melalui bahasa dikukuhkan dalam Sumpah Pemuda yang diperingati tiap 28 Oktober.
"Adalah
Bahasa Indonesia sebagai
lingua franca, yang turut menanam saham untuk meretas problem identitas kultural," ujar Hasyim dalam esai yang dikutip
Medcom.id pada Kamis, 27 Oktober 2022.
Menurut dia, bahasa Indonesia hadir dalam dua problem bangsa, yakni identitas dan loyalitas kultural. Hasyim menggunakan analisis sejarah nasionalisme untuk menjelaskan problem identitas kultural yang dimaksud Fred W Riggs dalam tulisannya 'Ethonational Rebellions and Viable Constitutionalism'.
Mengutip Fred, sejarah dunia mengalami tiga gelombang pasang nasionalisme. Hal tersebut, kata Hasyim, terjadi pula di Indonesia.
Dia memerinci gelombang pertama hadir ketika awal pembentukan Indonesia. "Pada gelombang ini, nasionalisme mempertegas perbedaan dengan komunitas lain, dan sekaligus mempertautkan kesamaan kultural untuk membangun suatu komunitas," ujar Hasyim.
Selain itu, gelombang kedua ialah nasionalisme yang berwujud liberalisasi sebuah komunitas atas dominasi komunitas lain dalam bentuk penjajahan. Hasyim melihat perjuangan dan pembebasan sebuah komunitas atas penjajahan bangsa merupakan suatu tahapan kesadaran.
Hal tersebut, kata dia, membangkitkan pembebasan suatu komunitas kebangsaan atas dominasi bangsa lain, berdasarkan motif apapun, baik ekonomi, politik, agama, dan budaya. Sementara itu, gelombang ketiga, yakni tsunami nasionalisme yang ditandai bangkitnya kesadaran ethnonasionalisme, berdasarkan suku, ras, bahasa, dan agama.
"Indonesia mengalami ketiga gelombang nasionalisme tersebut utamanya gelombang kedua meskipun terdapat riak-riak pemberontakan daerah yang turut mewarnai pemantapan negara-bangsa ini," kata Hasyim.
Menurut dia, bahasa Indonesia menjadi pemecah kebuntuan dari perlunya alat komunikasi sebagai pemersatu bangsa. Hal tersebut muncul dalam Kongres Pemuda di Batavia.
"Kesadaran atas perlunya sebuah alat komunikasi sebagai pemersatu bangsa sudah muncul sejak sebelum terbentuknya negara bangsa Indonesia 94 tahun lalu melalui
Sumpah Pemuda," ujar Hasyim.
Dia mengatakan bahasa Indonesia, yang cikal bakalnya adalah Bahasa Melayu Riau-Lingga, dipilih sebagai alat untuk mempertemukan
imagined community. Hasyim menggunakan teori Ben Anderson yang diungkap pada 1991 tentang suatu komunitas yang dibayangkan bersama, yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Republik Indonesia.
Hasyim menilai kesamaan penggunaan bahasa merupakan satu kondisi yang menguntungkan. Sehingga, mampu menjadi alat untuk mendamaikan konflik maupun kesalahpahaman yang terjadi.
Di sisi lain, dia melihat etnis mayoritas Jawa tidak memaksakan dominasi dalam berbahasa. Justru, Bahasa Melayu yang berasal dari minoritas Riau-Lingga yang dipilih secara alami sebagai Bahasa Indonesia.
"Pada titik inilah keadilan itu bermula. Persatuan itu tercipta karena bahasa keadilan," kata Hasyim.
Hal tersebut, kata dia, yang mendorong konsistensi KPU untuk menjadikan Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu. Sehingga, pemilu dapat menjadi ajang pemersatu bangsa, bukan pemecah belah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)