Jakarta: Elite politik diminta tidak menggampangkan mengubah konstitusi demi melanggengkan penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Pasalnya, roh konstitusi ialah membatasi kekuasaan.
“Konstitusi bukan sekadar teks dan matematika yang dengan gampang mengubahnya,” kata pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti dalam telekonferensi di Jakarta, Minggu, 6 Maret 2022.
Bivitri menilai aturan mengubah konstitusi di Indonesia terlalu mudah. Cukup satu per tiga dari jumlah anggota MPR yang mengagendakan perubahan konstitusi. Kemudian rapat dinyatakan kuorum minimal dua per tiga dari jumlah anggota MPR yang hadir.
“Serta persetujuan amendemen bisa sah dengan 50 persen plus satu,” papar dia.
Menurut Bivitri, elite politik seharusnya tidak dengan sengaja memanfaatkan hal tersebut. Apalagi, pendiri bangsa secara gamblang menyebut Indonesia negara hukum dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka.
“Pemerintahan berdasarkan konstitusi, bukan absolut,” tegas dia.
Baca: Wacana Penundaan Pemilu, KSP: Pemerintah Tetap Berpegang pada Konstitusi?
Bivitri menyebut orang-orang yang membincangkan dan mendukung perubahan konstitusi seharusnya malu. Terutama, aktor politik yang tidak seharusnya disebut negarawan.
“Karena sudah mengkhianati gagasan konstitusional,” ujar dia.
Wacana penundaan Pemilu 2024 dilontarkan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar. Gagasan serupa juga dilontarkan Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golongan Karya (Golkar). Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengekor.
Salah satu alasan penundaan mengarah pada kestabilan perekonomian. Selain itu, mahalnya biaya pemilu juga menjadi argumentasi munculnya wacana penundaan.
Di sisi lain, Partai NasDem menganggap wacana ini tak perlu dibesar-besarkan. Wacana penundaan, kemudian perpanjangan masa jabatan presiden tak semestinya diladeni. Penolakan juga tegas ditunjukkan PDI Perjuangan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di