Jakarta: Pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law yang merevisi UU BPJS berpotensi akan memangkas independensi dan kewenangan BPJS. Dewan Pengawas dan Direksi BPJS nantinya diposisikan di bawah menteri.
Ketua Presidium Yayasan Perlindungan Sosial Indonesia Inspir Yatini Sulistyowati mengatakan kehadiran draf RUU Kesehatan menjadi kontraproduktif bagi kedua BPJS untuk mengelola jaminan sosial dengan lebih baik lagi.
Pasal 7 ayat (2) RUU Kesehatan menyatakan BPJS bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri yaitu melalui Menteri Kesehatan untuk BPJS Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan. Dan Pasal 13 ayat (2) huruf a, khusus bagi bagi BPJS Kesehatan wajib melaksanakan penugasan dari Kementerian Kesehatan.
"Tidak hanya itu, proses penyampaian laporan pengawasan penyelenggaraan jaminan sosial sebagai bagian dari laporan BPJS kepada Presiden harus melalui menteri Kesehatan untuk BPJS Kesehatan dan melalui Menteri Ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan, dengan tembusan kepada DJSN. Ketentuan ini diatur di Pasal 22 ayat (2) huruf d RUU Kesehatan," jelas Yatini.
Ditambah, proses pemilihan Direksi dan Dewan Pengawas kedua BPJS pun dalam kendali Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan, yang diberi kewenangan membentuk panitia seleksi bersama Menteri Keuangan atas persetujuan Presiden. Hal ini diatur dala Pasal 28 ayat (1) RUU Kesehatan.
Yatini melanjutkan pada UU BPJS, Direksi dan Dewas BPJS bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dan Direksi maupun Dewas tidak bisa melaksanakan penugasan dari Menteri.
"BPJS berkewajiban melaporkan secara berkala enam bulan sekali langsung kepada Presiden, tanpa melalui Menteri, dengan tembusan kepada DJSN," jelas Yatini.
Kedua BPJS mengelola dana masyarakat, bukan dana APBN/APBD, dan oleh karenanya pengelolaan dana masyarakat ini harus terhindar dari intervensi pihak lain seperti Menteri.
Kalau pun ada dana APBN dan APBD yang dibayarkan ke BPJS, itu merupakan kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk membayar iuran JKN bagi masyarakt miskin. Serta kewajiban pemerintah membayar iuran JKN bagi PNS, TNI dan Polri.
"Itu semua amanat UU SJSN kepada Pemerintah, termasuk pembayaran iuran Jaminan Kehilangan Pekerja (JKP) kepada BPJS Ketenagakerjaan yang merupakan amanat UU Cipta Kerja," jelas Yatini.
Yatini khawatir jika pengelolaan dana masyarakat dapat diintervensi oleh menteri maka akan berpotensi merugikan masyarakat dan pekerja/buruh. Pasalnya, dana untuk membayar manfaat jaminan sosial akan terganggu.
Status Badan Hukum Publik bagi BPJS harus dimaknai sebagai bentuk independensi BPJS dalam mengelola jaminan sosal, yaitu bertanggungjawab langsung ke Presiden, bukan bertanggungjawab melalui Menteri.
Yatini menilai kehadiran RUU Kesehatan akan menurunkan kualitas pengelolaan jaminan sosial. Sehingga pada akhirnya akan menurunkan kualitas pelayanan dan manfaat jaminan sosial kepada rakyat Indonesia.
"Oleh karenanya INSP!R Indonesia meminta DPR RI dan pemerintah mengurungkan niat untuk merevisi UU BPJS di RUU Kesehatan. Inspir Indonesia menolak keinginan DPR dan Pemerintah merevisi UU BPJS di RUU Kesehatan," jelasnya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id
Jakarta: Pembahasan
RUU Kesehatan Omnibus Law yang merevisi UU BPJS berpotensi akan memangkas independensi dan kewenangan BPJS. Dewan Pengawas dan Direksi BPJS nantinya diposisikan di bawah menteri.
Ketua Presidium Yayasan
Perlindungan Sosial Indonesia Inspir Yatini Sulistyowati mengatakan kehadiran draf RUU Kesehatan menjadi kontraproduktif bagi kedua BPJS untuk mengelola jaminan sosial dengan lebih baik lagi.
Pasal 7 ayat (2) RUU Kesehatan menyatakan BPJS bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri yaitu melalui Menteri Kesehatan untuk
BPJS Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan. Dan Pasal 13 ayat (2) huruf a, khusus bagi bagi BPJS Kesehatan wajib melaksanakan penugasan dari Kementerian Kesehatan.
"Tidak hanya itu, proses penyampaian laporan pengawasan penyelenggaraan jaminan sosial sebagai bagian dari laporan BPJS kepada Presiden harus melalui menteri Kesehatan untuk BPJS Kesehatan dan melalui Menteri Ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan, dengan tembusan kepada DJSN. Ketentuan ini diatur di Pasal 22 ayat (2) huruf d RUU Kesehatan," jelas Yatini.
Ditambah, proses pemilihan Direksi dan Dewan Pengawas kedua BPJS pun dalam kendali Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan, yang diberi kewenangan membentuk panitia seleksi bersama Menteri Keuangan atas persetujuan Presiden. Hal ini diatur dala Pasal 28 ayat (1) RUU Kesehatan.
Yatini melanjutkan pada UU BPJS, Direksi dan Dewas BPJS bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dan Direksi maupun Dewas tidak bisa melaksanakan penugasan dari Menteri.
"BPJS berkewajiban melaporkan secara berkala enam bulan sekali langsung kepada Presiden, tanpa melalui Menteri, dengan tembusan kepada DJSN," jelas Yatini.
Kedua BPJS mengelola dana masyarakat, bukan dana APBN/APBD, dan oleh karenanya pengelolaan dana masyarakat ini harus terhindar dari intervensi pihak lain seperti Menteri.
Kalau pun ada dana APBN dan APBD yang dibayarkan ke BPJS, itu merupakan kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk membayar iuran JKN bagi masyarakt miskin. Serta kewajiban pemerintah membayar iuran JKN bagi PNS, TNI dan Polri.
"Itu semua amanat UU SJSN kepada Pemerintah, termasuk pembayaran iuran Jaminan Kehilangan Pekerja (JKP) kepada BPJS Ketenagakerjaan yang merupakan amanat UU Cipta Kerja," jelas Yatini.
Yatini khawatir jika pengelolaan dana masyarakat dapat diintervensi oleh menteri maka akan berpotensi merugikan masyarakat dan pekerja/buruh. Pasalnya, dana untuk membayar manfaat jaminan sosial akan terganggu.
Status Badan Hukum Publik bagi BPJS harus dimaknai sebagai bentuk independensi BPJS dalam mengelola jaminan sosal, yaitu bertanggungjawab langsung ke Presiden, bukan bertanggungjawab melalui Menteri.
Yatini menilai kehadiran RUU Kesehatan akan menurunkan kualitas pengelolaan jaminan sosial. Sehingga pada akhirnya akan menurunkan kualitas pelayanan dan manfaat jaminan sosial kepada rakyat Indonesia.
"Oleh karenanya INSP!R Indonesia meminta DPR RI dan pemerintah mengurungkan niat untuk merevisi UU BPJS di RUU Kesehatan. Inspir Indonesia menolak keinginan DPR dan Pemerintah merevisi UU BPJS di RUU Kesehatan," jelasnya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WHS)