Ilustrasi--Sejumlah personel TNI bersiap melakukan atraksi saat perayaan HUT ke-72 TNI--Antara/Hafidz Mubarak A
Ilustrasi--Sejumlah personel TNI bersiap melakukan atraksi saat perayaan HUT ke-72 TNI--Antara/Hafidz Mubarak A

Godaan TNI Berpolitik Terus Muncul

Damar Iradat • 07 Oktober 2017 15:03
medcom.id, Jakarta: Pasca-reformasi, godaan TNI terjun ke panggung politik masih tetap ada. Sejak pemilu 2004, partai politik kerap mencari tokoh militer masuk ke jajaran pengurus.
 
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, runtuhnya Orde Baru membuat pergeseran politik di kubu TNI. Dwi fungsi TNI ikut dicabut seiring dengan mulainya reformasi di Indonesia.
 
"Ini tentu capaian positif. TNI secara institusional tidak berpolitik, tapi bukan berarti godaan TNI masuk ke politik hilang," kata Al Araf dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Sabtu, 7 Oktober 2017.

Menurutnya, godaan itu akan selalu ada. Ia mengklaim, sejak tahun 2004 posisi Panglima atau perwira tinggi TNI selalu ditarik ke dalam wilayah politik.
 
Namun ia tak menampik jika banyak partai politik menggaet tokoh militer. Figur pengalaman dan kharisma rupanya masih menjadi daya tarik seorang perwira tinggi untuk mendapatkan dukungan.
 
Baca: Panglima TNI Gatot Nurmantyo Mengaku Berpolitik
 
Menurut Al Araf, dinamika seperti itu terjadi lantaran faktor eksternal. Sementara itu, yang terjadi pada Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo malah sebaliknya. "Kalau yang sekarang ini saya rasa karena faktor internal (dalam diri Gatot). Individual bukan situasional," jelasnya.
 
Ia pun tidak mempermasalahkan jika Gatot masuk dalam ranah politik. Namun, yang perlu digarisbawahi, jika Gatot ingin berpolitik, maka jabatan sebagai Panglima TNI harus dilepaskan. "Mundur dulu jadi panglima baru bicara politik. Sepanjang jadi panglima, diskusi soal prajurit, persenjataan, perbatasan saja," tegasnya.
 
Ia pun membandingkan sikap Gatot dan Agus Harimurti Yudhoyono. Seperti diketahui, Agus harus rela melepaskan status prajurit TNI sebelum masuk ke ranah politik, pada kontestasi Pilkada DKI Jakarta. "Dalam kasus itu, AHY jauh lebih baik. Mengundurkan diri kemudian maju dalam kontestasi pilkada," tandasnya.
 
Baca: Manuver Panglima TNI Bermuatan Politik
 
Sementara itu, Pengamat Komunikasi Politik Hendri Satrio mengatakan, saat ini publik merindukan figur militer sebagai pemimpin. Hal ini disebabkan lantaran Presiden Joko Widodo yang dari kalangan sipil dinilai belum bisa memenuhi janji-janjinya selama kampanye.
 
"Jadi, memang ada seperti itu, sipil ini memiliki beban pundak luar biasa pada saat memimpin untuk segera memenuhi janji kampanyenya, karena orang melihat paling gampang militer (yang memimpin)," ucap Satrio.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(YDH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan