medcom.id, Jakarta: Pernyataan Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo tentang 5.000 pucuk senjata serta rencana penyerangan pasukan nonmiliter dianggap kelewatan. Ketua SETARA Institute, Hendardi menggambarkan Gatot sebagai sosok oportunis dan penuh kepentingan politik praktis.
"Panglima TNI bermanuver dengan mencari musuh-musuh baru, bukan untuk tujuan kepentingan bangsa tetapi untuk kepentingan politik jangka pendek bagi dirinya," kata Hendardi dalam keterangan pers, Minggu 24 September 2017.
Sikap lain yang menunjukkan muatan politik, misalnya tentang Gatot yang memerintahkan jajarannya memutar Film G30SPKI. Hendardi menilai Gatot tengah memberi gambaran pada masyarakat terkait TNI terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI).
"Alih-alih mendukung rencana pemerintah yang berencana menggali kebenaran persitiwa tersebut, Gatot justru bersikap sebaliknya mempromosikan kebencian kepada orang-orang yang dituduh PKI di masa lalu, meskipun hingga kini kebenaran peristiwa tersebut belum terungkap," imbuh dia.
Menurut Hendardi, film G30SPKI garapan orde baru adalah film indoktrinatif untuk membenarkan tindakan penguasa dan menciptakan stabilitas politik pada masanya. Film tersebut dikatakan juga menjadi instrumen menyebarkan kebencian, stigma, dan diskriminasi permanen pada orang-orang yang dituduh sebagai PKI. Di sisi lain, pasca-Orde Baru, muncul banyak versi tentang peristiwa tersebut.
Saat ini pemerintah Joko Widodo juga telah berencana untuk melakukan pengungkapan kebenaran dan keadilan atas peristiwa yang sesungguhnya.
"Jadi, rencana pemutaran film yang digagas oleh Panglima TNI hanyalah model dan cara Orde Baru untuk menanamkan kebencian tanpa reserve, tanpa interupsi, meskipun yang disuguhkan adalah peristiwa yang belum jelas kebenarannya. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya pemutaran film tersebut tidak lagi dilakukan," kata Hendardi.
Gatot, dianggap memperkeruh situasi dimana Presiden Jokowi berupaya mengungkap kebenaran dan keadilan atas peristiwa kemanusiaan tersebut. Untuk itu Presiden diminta menerapkan disiplin pada seluruh elemen di bawah tanggung jawabnya. Supaya tak terjadi kegaduhan yang dapat menyebabkan instabilitas politik dan keamanan.
"Dan yang paling utama, Jokowi menyegerakan upaya-upaya pengungkapan kebenaran dan keadilan atas pelanggaran HAM di 1965 tersebut. Dalam Nawacita, Jokowi-JK berjanji akan membentuk Komisi Kepresidenan Pengungkapan Kebenaran pelanggaran HAM masa lalu, termasuk peristiwa 1965," pungkas Hendardi.
medcom.id, Jakarta: Pernyataan Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo tentang 5.000 pucuk senjata serta rencana penyerangan pasukan nonmiliter dianggap kelewatan. Ketua SETARA Institute, Hendardi menggambarkan Gatot sebagai sosok oportunis dan penuh kepentingan politik praktis.
"Panglima TNI bermanuver dengan mencari musuh-musuh baru, bukan untuk tujuan kepentingan bangsa tetapi untuk kepentingan politik jangka pendek bagi dirinya," kata Hendardi dalam keterangan pers, Minggu 24 September 2017.
Sikap lain yang menunjukkan muatan politik, misalnya tentang Gatot yang memerintahkan jajarannya memutar Film G30SPKI. Hendardi menilai Gatot tengah memberi gambaran pada masyarakat terkait TNI terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI).
"Alih-alih mendukung rencana pemerintah yang berencana menggali kebenaran persitiwa tersebut, Gatot justru bersikap sebaliknya mempromosikan kebencian kepada orang-orang yang dituduh PKI di masa lalu, meskipun hingga kini kebenaran peristiwa tersebut belum terungkap," imbuh dia.
Menurut Hendardi, film G30SPKI garapan orde baru adalah film indoktrinatif untuk membenarkan tindakan penguasa dan menciptakan stabilitas politik pada masanya. Film tersebut dikatakan juga menjadi instrumen menyebarkan kebencian, stigma, dan diskriminasi permanen pada orang-orang yang dituduh sebagai PKI. Di sisi lain, pasca-Orde Baru, muncul banyak versi tentang peristiwa tersebut.
Saat ini pemerintah Joko Widodo juga telah berencana untuk melakukan pengungkapan kebenaran dan keadilan atas peristiwa yang sesungguhnya.
"Jadi, rencana pemutaran film yang digagas oleh Panglima TNI hanyalah model dan cara Orde Baru untuk menanamkan kebencian tanpa reserve, tanpa interupsi, meskipun yang disuguhkan adalah peristiwa yang belum jelas kebenarannya. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya pemutaran film tersebut tidak lagi dilakukan," kata Hendardi.
Gatot, dianggap memperkeruh situasi dimana Presiden Jokowi berupaya mengungkap kebenaran dan keadilan atas peristiwa kemanusiaan tersebut. Untuk itu Presiden diminta menerapkan disiplin pada seluruh elemen di bawah tanggung jawabnya. Supaya tak terjadi kegaduhan yang dapat menyebabkan instabilitas politik dan keamanan.
"Dan yang paling utama, Jokowi menyegerakan upaya-upaya pengungkapan kebenaran dan keadilan atas pelanggaran HAM di 1965 tersebut. Dalam Nawacita, Jokowi-JK berjanji akan membentuk Komisi Kepresidenan Pengungkapan Kebenaran pelanggaran HAM masa lalu, termasuk peristiwa 1965," pungkas Hendardi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SCI)