Jakarta: Diskusi yang digelar Moya Institute menyimpulkan, demokrasi Indonesia terus bertumbuh. Ini ditandai dengan fenomena muncul banyaknya partai politik (parpol) baru. Meski begitu, pertumbuhan demokrasi Indonesia masih malu-malu.
"(Banyaknya parpol) sebetulnya turut memperkaya khasanah demokrasi di Indonesia dengan segala peristiwa politik terjadi. Apalagi, pada saat pandemi covid-19 saat ini yang membuat demokrasi jadi terbatas," kata Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto, seperti dikutip dari Antara, Sabtu, 6 Maret 2021.
Moya Institute menggelar diskusi virtual bertema "Demokrasi Indonesia di Simpang Jalan?", kemarin. Hadir sebagai pembicara utama adalah Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, Anis Matta.
Anis mengatakan selama 20 tahun terakhir di Indonesia, perubahan sosial terasa lebih cepat dan besar ketimbang reformasi politik. Penyebabnya, kondisi struktural dengan bonus demografi. Lalu terbentuknya kelas menengah baru yang jumlahnya cukup banyak, tren pertumbuhan populasi urban, serta infiltrasi global.
"Meski begitu, reformasi ketatanegaraan juga bisa menciptakan keseimbangan baru dan stabilitas politik Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia," ujar Anis.
Wakil Ketua Parta Gelora Indonesia yang juga narasumber diskusi, Fahri Hamzah, menjelaskan sekarang ini elite di Indonesia tidak menunjukkan keseriusan berdemokrasi. Menurut dia, kondisi begitu terjadi sebab telah terlalu lamanya Indonesia dalam kungkungan sistem politik kerajaan sekaligus mengalami masa kolonialisme imperialisme.
"Cita rasa, kebebasan melemah, dan harus mengikuti maunya negara. Itu sama saja dengan kudeta yang harus dicemaskan," kata Fahri.
Narasumber lainnya, pengamat politik sekaligus Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, Komaruddin Hidayat, mengungkapkan proses demokrasi di Indonesia terasa terlalu mengikat dan normatif karena menerapkan referensi dari Barat.
"Jadinya, demokrasi di Indonesia lebih dekat ke informasi untuk mempengaruhi opini masyarakat, jadi market. Informasi bertemu dengan realitas masyarakat yang pluralis dan religius membuat kadang sinkron, kadang berbenturan," ujar Komaruddin.
Direktur Eksekutif NetGrit dan mantan Komisioner KPU 2012-2017, Ferry Kurnia, menuturkan, bila merujuk pada indeks demokrasi, Indonesia masih belum memberikan harapan baik sebab hanya memiliki skor 65.
Realita tersebut, bagi Ferry, di satu sisi membuat demokrasi Indonesia telah terlaksana, namun juga mash muncul kontraproduktif. Bahkan, berdasarkan indeks demokrasi tersebut, Ferry membandingkan kualiitas demokrasi Indonesia yang di bawah Timor Leste, Malaysia, serta Filipina.
Pakar politik internasional, Imron Cotan, menuturkan demokrasi sepatutnya mengirimkan apa yang menjadi kepentingan rakyat. Imron mengatakan, meski seluruh sistem politik tidak ada yang sempurna, demokrasi tetap pilihan yang terbaik.
"Saat ini Indonesia baru dalam eksperimen demokrasi. Harus hati-hati dalam eksperimen. Cita rasa demokrasi harus terus dilembagakan supaya tidak kembali seperti masa lalu saat Orde Lama dan Orde Baru," kata Imron.
Imron mengingatkan agar demokrasi tak dijadikan jawaban dari semua masalah politik negara. Indonesia, saran Imron, harus berada di tengah guna terus melakukan moderasi.
Jakarta: Diskusi yang digelar Moya Institute menyimpulkan, demokrasi Indonesia terus bertumbuh. Ini ditandai dengan fenomena muncul banyaknya partai politik (parpol) baru. Meski begitu, pertumbuhan demokrasi Indonesia masih malu-malu.
"(Banyaknya parpol) sebetulnya turut memperkaya khasanah demokrasi di Indonesia dengan segala peristiwa politik terjadi. Apalagi, pada saat pandemi covid-19 saat ini yang membuat demokrasi jadi terbatas," kata Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto, seperti dikutip dari
Antara, Sabtu, 6 Maret 2021.
Moya Institute menggelar diskusi virtual bertema "Demokrasi Indonesia di Simpang Jalan?", kemarin. Hadir sebagai pembicara utama adalah Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, Anis Matta.
Anis mengatakan selama 20 tahun terakhir di Indonesia, perubahan sosial terasa lebih cepat dan besar ketimbang reformasi politik. Penyebabnya, kondisi struktural dengan bonus demografi. Lalu terbentuknya kelas menengah baru yang jumlahnya cukup banyak, tren pertumbuhan populasi urban, serta infiltrasi global.
"Meski begitu, reformasi ketatanegaraan juga bisa menciptakan keseimbangan baru dan stabilitas politik Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia," ujar Anis.
Wakil Ketua Parta Gelora Indonesia yang juga narasumber diskusi, Fahri Hamzah, menjelaskan sekarang ini elite di Indonesia tidak menunjukkan keseriusan berdemokrasi. Menurut dia, kondisi begitu terjadi sebab telah terlalu lamanya Indonesia dalam kungkungan sistem politik kerajaan sekaligus mengalami masa kolonialisme imperialisme.
"Cita rasa, kebebasan melemah, dan harus mengikuti maunya negara. Itu sama saja dengan kudeta yang harus dicemaskan," kata Fahri.
Narasumber lainnya, pengamat politik sekaligus Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, Komaruddin Hidayat, mengungkapkan proses demokrasi di Indonesia terasa terlalu mengikat dan normatif karena menerapkan referensi dari Barat.
"Jadinya, demokrasi di Indonesia lebih dekat ke informasi untuk mempengaruhi opini masyarakat, jadi market. Informasi bertemu dengan realitas masyarakat yang pluralis dan religius membuat kadang sinkron, kadang berbenturan," ujar Komaruddin.