Sidang pengujian materiel Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Medcom.id/Theo
Sidang pengujian materiel Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Medcom.id/Theo

Penggugat KUHP soal Penghinaan Presiden Jelaskan 3 Alasan Pengajuan

Theofilus Ifan Sucipto • 06 Februari 2023 17:30
Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiel Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Agenda sidang ialah perbaikan permohonan.
 
Perkara teregistrasi dengan nomor 7/PUU-XXI/2023. Sidang yang salah satunya diajukan pengajar Fakultas Hukum Indonesia Fernando Manullang ini dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo dan beranggotakan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh.
 
"Saya ingin mendudukkan tiga problem yang saya mohon izin menjelaskan untuk kejernihan di balik motivasi pengajuan," kata Fernando di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin, 6 Februari 2023.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Fernando mengatakan hal pertama terkait subjek hukum yang mengutip teori ahli hukum Austria Hans Kelsen. Subjek hukum bisa dianggap subjek hukum bila ada pemberian hak dan kewajiban dari pihak yang berfungsi membuat dan menerapkan hukum atau disebut organ hukum.
 
"Implikasinya, subjek hukum pada hakikatnya adalah ide fiksi karena mustahil seseorang yang alamiah sekalipun mendeklarasikan hak dan kewajiban, ada organ hukum yang bilang ada hak dan kewajiban," ujar Fernando.
 

Baca Juga: Soroti KUHP, AHY Minta Pasal Kontroversial Tak Dijadikan Untuk Menggebuk Lawan Politik


Fernando mengelaborasikan teori itu dengan permohonannya ke MK. Presiden, wakil presiden, dan lembaga negara adalah sesuatu yang fiksi karena ada organ hukum yang memberi hak dan kewajiban.
 
"Oleh sebab itu, bagaimana mungkin punya perasaan atau emosi pada sesuatu yang dianggap fiksi?" papar dia.
 
Fernando menyebut hal kedua ialah soal menjelaskan fiksi dengan realitas dengan teori filsuf Swedia Axel Hagerstrom. Hagerstrom memandang hukum secara objektif berada di luar diri manusia.
 
"Sesuatu di luar diri manusia bukan sebagai realitas, melainkan nihil," tutur dia.
 
Fernando mencontohkan apa yang kita ketahui tentang sebuah objek sebenarnya bukan objek tersebut. Melainkan hanya penampakan atau fenomena atas objek tersebut.
 
"Objek itu ada oleh rasio kita. Ide Hagerstrom berupaya menunjukkan realitas adalah hal di dalam diri manusia, bukan di luar diri," ucap dia.
 
Fernando menuturkan hal ketiga soal paradigma yuridis. Ada sebuah kebiasaan yang dikenal dengan lembaga peradilan untuk memuliakan hakim dan peradilan.
 
"Hakim disebut wakil Tuhan karena memutus demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Presiden bukan Tuhan atau wakil Tuhan. Bukan wahyu atau firman," tutur dia.
 
Fernando membandingkan Indonesia dengan negara monarki seperti Inggris. Misalnya Ratu Elizabeth II yang tidak memiliki paspor atau surat izin mengemudi (SIM).
 
"Karena ratu dalam tanda petik seperti Tuhan, juga seperti wahyu atau firman, dalam arti dia memegang kekuasaan sebelum yang lain ada. Presiden-presiden kita saya yakin punya paspor atau SIM sebelum menjabat," tutur dia.
 
Sebelumnya, Fernando mengkritik soal pasal penghinaan presiden dan lembaga tinggi negara terhadap Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Dia beralasan presiden beserta lembaga negara sebagai pihak yang menjalankan negara layak mendapat kritikan maupun saran dari warga negara.
 
Norma yang diujikan adalah Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), Pasal 241 ayat (1) UU KUHP. Beleid itu dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
 
Fernando mafhum ada beberapa saran yang disampaikan tidak sesuai dengan etika ataupun moral. Namun pengaturan pasal penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara justru bertentangan dengan UUD 1945, yakni perlindungan hukum yang adil tanpa memandang jabatan atau latar belakang.
 
(AZF)




LEAVE A COMMENT
LOADING

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif