Jakarta: Politik di Indonesia sangat dinamis. Apalagi di hari-hari terakhir ini, menjelang pendaftaran capres-cawapres, hampir semua parpol saling bertemu untuk memastikan siapakah yang layak digandeng menjadi koalisi.
Nah, kali ini saya, Pemimpin Redaksi Medcom.ID Abdul Kohar, sedang berada di kediaman salah satu sosok penting yang ikut menentukan bagaimana koalisi politik bagi demokrasi Indonesia ke depan. Ia adalah Zulkifli Hasan, ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN).
Baca: 'Kami bukan Setengah-setengah, tapi Kritis' (1)
Abdul Kohar (AK): Politik Kebangsaan atau yang diistilahkan Pak Amien 'High Politics'. Siapa yang menginspirasi dari berbagai ide Pak Zul selama ini?
Zulkifli Hasan (ZH): Ibu saya. Ibu saya mengatakan, 'Nak, bersungguh-sungguhlah dalam berjuang untuk orang banyak. Semakin kamu berguna untuk orang banyak, itulah harapan saya.' Saya ingat pesan ibu saya,
AK: Ibu tak pernah menghendaki Pak Zul menjadi a atau....
ZH: Ndak, ndak. Saya dulu bercita-cita menjadi dokter karena ada pengalaman pahit. Saya ditinggal ibu saya waktu saya kelas 1 SMA semester pertama. Ibu melahirkan anak kembar, pendarahan, dan gak ada dokter. Zaman dulu di kampung kan susah sekali.
Oleh karena itu, saya bertekad saya mau jadi dokter. Saya dulu sekolah di Jakarta, kalau lewat UI (Universitas Indonesia) tuh, saya mau sekolah di situ. Salemba (Fakultas Kedokteran UI), tapi gak lulus. Sipenmaru gak lulus. Akhirnya saya jadi pegawai negeri. Dulu pertanian. Baru delapan disuruh mengajarkan soal ikan dan tumbuhan. Saya gak betah. Ya, kalau ikan di kampung banyak. Kalau tanaman-tanamab banyak. Saya berhenti. Terus berdagang, berusaha, ternyata gak (jadi) dokter, tapi saya menjadi pelaku usaha.
AK: Menjadi dokter politik mungkin ya?
ZH: Oh, itu terakhir. Itu gak pernah cita-cita juga. Barulah saat peristiwa 98 (Reformasi). Kita sepakat dengan istri, kita sudah puluhan tahun usaha, anak-anak sudah cukup. Sekarang giliran sumpah saya kepada ibu
AK: Apa itu?
ZH: Untuk memberikan pengabdian kepada orang banyak tadi.
AK: Itu disampaikan ibu ketika kelas berapa?
ZH: Itu mulai dari, selalu setiap pulang. Karena dari dulu saya sudah merantau, jadi kalau libur pulang. Ketemu ibu, selalu disampaikan terus menerus bukan sekali dua kali.
T: Termasuk cara memandang orang?
J: Itu pesan ayah. Kalau ayah saya sederhana. 'Nih, Mas, sakit toh?' (sambil mencubit Abdul Kohar). Nah, jangan menyakiti orang. Kalau dihina orang gak enak, jangan menghina orang lain. Kalau ditipu orang gak enak, jangan menipu orang. Sederhana. Yang kita merasa tidak enak dilakukan, jangan melakukannya kepada orang lain.
AK: Sebagai ketua umum PAN itu semua kan banyak terjadi.
ZH: Itu biasa.
AK: Cara menyiasatinya bagaimana?
ZH: Oh, sederhana. Saya ingat pesan guru-guru saya, jangan berharap kepada manusia. Kalau kamu berharap kepada manusia pasti akan kecewa. Berharap saja kepada Allah. Mintalah kepada Allah.
AK: Siapa tokoh politik Indonesia yang menjadi teladan bagi Pak Zul?
ZH: Kalau saya Buya Hamka. Selain punya prinsip yang kokoh, menguasai ilmu agama, juga paham sekali soal politik. Dan pendiriannya seperti batu karang. Dadanya lapang sekali, luas.
AK: Sebentar lagi mau pilpres, apakah masih ditemukan sosok seperti Buya Hamka?
ZH: Kalau PAN sudah mutusin capresnya Zulkifli Hasan. Sudah. Sudah itu. Tapi kan syaratnya 20 persen (ambang batas pencalonan presiden). Nanti tentu koalisi. Koalisi itu tentu bukan harga mati kan. Harga hidup, nanti ya. Siapa yang terbaiklah buat negeri ini, agar lebih berdaulat, lebih adil.
AK: Proses masih terus berlanjut?
ZH: Terus, sekarang intens.
AK: Dan akhirnya siapa pun nanti ke mana PAN berlabuh...
ZH: Kita putuskan yang terbaik untuk negeri, tetapi saya berharap ini pertandingan penuh persahabatan. Kan kita sama kita. Kita bukan melawan orang asing. Oleh karena itu, saya berharap agar kompetisi ini berkualitas, bermartabat.
Yang menang harus siap menarik yang kalah. Yang kalah harus menghormati yang menang, jangan ngeyel. Udah kalah nuntut sana sini, ribut sana sini, kan gak betul begitu. Demokrasi yang matang.
Inget yang kemarin, gara-gara kita tarung, DPR dua tahun. Grup A, grup B, Grup A, grup B, nah saya berharap kalau memang menang, ya sama-sama. Yang (menang) besar dapat besar, yang kecil dapat kecil, yang sedang dapat sedang. Kerja, melayani rakyat dengan baik.
Oh, bahwa ada yang sedikit-sedikit kena tekel, oh gak apa-apa. Tapi jangan patahin kaki dong. Itu yang disebut politik kebangsaan.
Baca: PAN Terganggu jika Kritik Amien Rais Terlalu Pedas (2)
AK: Termasuk yang ditanyakan oleh @IrfanPemuda: Dengan hasil pertemuan SBY dan Prabowo semalam, ada bermunculan narasi PKS dan PAN pengaruhnya jadi berkurang untuk menentukan cawapres. Apakah Pak Zul sependapat dengan narasi itu? Atau narasi itu sekadar provokasi untuk menjegal terjadinya koalisi PAN, PKS, Gerindra, Demokrat?
ZH: Ini bukan soal kurang dan nambah. Kalau proses politik bukan kurang dan tambah, tapi saya kira masing-masing parpol akan mencari yang terbaik. Bukan kurang atau tambah ya, berapa persen atau berapa persen, saya kira proses. Dalam proses itu di detik akhir bisa saja berubah. Dulu kita dukung gubernur a, tapi waktu pendaftaran bisa berubah.
Kita hormati saja proses semuanya, nanti mana yang terbaik tentu menurut persepsi parpol masing-masing.
AK: Termasuk ketika Pak Prabowo bertemu SBY?
ZH: Itu suatu proses, biasa saja.
AK: Sudah berbicara juga (Prabowo) dengan Pak Zul?
ZH: Pasti.
AK: Termasuk ketika bertemu Pak jokowi?
ZH: Kalau dalam diskusi kan ada yang kita sampaikan, ada yang untuk kita, ada yang perlu disampaikan atau tidak. Tentu kita mesti tahu, mana yang iya, mana yang bisa share.
AK: Termasuk yang dengan Pak Jokowi itu belum bisa di-share ya?
ZH: Itu yang saya share. Pertama saya report, beliau kan Presiden kita. Kepala Negara. Saya ketua MPR. Kami akan sidang MPR 16 agustus. itu mesti report.
Kita mengambil putusan pasal 1 dan pasal 2 untukmenyempurnakan pokok-pokok haluan negara, kita mesti report. Tapi sebagai politisi, saya juga ketum partai, bicara juga soal politk. Ada hal tertentu saya katakan, proses.
AK: Ada lagi pertanyaan dari @Wae_prasetya, 'Pak Zulhas jika setelah Pemilu 2019 tidak menjabat lagi sebagai ketua MPR, apa masih mau jika ditawari jabatan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup?
ZH: Ndak, saya sudah ndak. Saya jadi guru kalau sudah tak menjadi apa-apa. Kalau pensiun ya jadi guru lagi. Kan saya ini guru. Sekolah saya kan sekolah guru.
AK: di Muhammadiyah atau di...?
ZH: PGA namanya. Pendidikan Guru Agama. Nyangsang ke pengusaha, eh saya jadi politisi.
AK: Jadi tak risau dengan perjalanan politik ke depan seperti apa?
ZH: Risau itu kan kalau kita tak punya iman. Kita jalani yang penting landasan kita kokoh. Saya landasan berbuat ini adalah bagian dari ibadah. Bagian dari alam saleh. Kalau kita kokoh di situ, apa pun biasa saja.
AK: Pesan Pak Zul terhadap generasi muda?
ZH: Anak muda kita tentu tak kalah dengan anak muda mana pun di dunia. Kita punya talenta-talenta yang hebat. Oleh karena itu berjuanglah dengan sungguh-sungguh. Gapailah prestasi setinggi-tingginya. Ingat tak ada prestasi dicapai tanpa kerja keras.
<iframe width="560" height="315" src="https://www.youtube.com/embed/mQmIu1CP1QY" frameborder="0" allow="autoplay; encrypted-media" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Politik di Indonesia sangat dinamis. Apalagi di hari-hari terakhir ini, menjelang pendaftaran capres-cawapres, hampir semua parpol saling bertemu untuk memastikan siapakah yang layak digandeng menjadi koalisi.
Nah, kali ini saya, Pemimpin Redaksi Medcom.ID Abdul Kohar, sedang berada di kediaman salah satu sosok penting yang ikut menentukan bagaimana koalisi politik bagi demokrasi Indonesia ke depan. Ia adalah Zulkifli Hasan, ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN).
Abdul Kohar (AK): Politik Kebangsaan atau yang diistilahkan Pak Amien 'High Politics'. Siapa yang menginspirasi dari berbagai ide Pak Zul selama ini?
Zulkifli Hasan (ZH): Ibu saya. Ibu saya mengatakan, 'Nak, bersungguh-sungguhlah dalam berjuang untuk orang banyak. Semakin kamu berguna untuk orang banyak, itulah harapan saya.' Saya ingat pesan ibu saya,
AK: Ibu tak pernah menghendaki Pak Zul menjadi a atau....
ZH: Ndak, ndak. Saya dulu bercita-cita menjadi dokter karena ada pengalaman pahit. Saya ditinggal ibu saya waktu saya kelas 1 SMA semester pertama. Ibu melahirkan anak kembar, pendarahan, dan gak ada dokter. Zaman dulu di kampung kan susah sekali.
Oleh karena itu, saya bertekad saya mau jadi dokter. Saya dulu sekolah di Jakarta, kalau lewat UI (Universitas Indonesia) tuh, saya mau sekolah di situ. Salemba (Fakultas Kedokteran UI), tapi gak lulus. Sipenmaru gak lulus. Akhirnya saya jadi pegawai negeri. Dulu pertanian. Baru delapan disuruh mengajarkan soal ikan dan tumbuhan. Saya gak betah. Ya, kalau ikan di kampung banyak. Kalau tanaman-tanamab banyak. Saya berhenti. Terus berdagang, berusaha, ternyata gak (jadi) dokter, tapi saya menjadi pelaku usaha.
AK: Menjadi dokter politik mungkin ya?
ZH: Oh, itu terakhir. Itu gak pernah cita-cita juga. Barulah saat peristiwa 98 (Reformasi). Kita sepakat dengan istri, kita sudah puluhan tahun usaha, anak-anak sudah cukup. Sekarang giliran sumpah saya kepada ibu
AK: Apa itu?
ZH: Untuk memberikan pengabdian kepada orang banyak tadi.
AK: Itu disampaikan ibu ketika kelas berapa?
ZH: Itu mulai dari, selalu setiap pulang. Karena dari dulu saya sudah merantau, jadi kalau libur pulang. Ketemu ibu, selalu disampaikan terus menerus bukan sekali dua kali.
T: Termasuk cara memandang orang?
J: Itu pesan ayah. Kalau ayah saya sederhana. 'Nih, Mas, sakit toh?' (sambil mencubit Abdul Kohar). Nah, jangan menyakiti orang. Kalau dihina orang gak enak, jangan menghina orang lain. Kalau ditipu orang gak enak, jangan menipu orang. Sederhana. Yang kita merasa tidak enak dilakukan, jangan melakukannya kepada orang lain.
AK: Sebagai ketua umum PAN itu semua kan banyak terjadi.
ZH: Itu biasa.
AK: Cara menyiasatinya bagaimana?
ZH: Oh, sederhana. Saya ingat pesan guru-guru saya, jangan berharap kepada manusia. Kalau kamu berharap kepada manusia pasti akan kecewa. Berharap saja kepada Allah. Mintalah kepada Allah.
AK: Siapa tokoh politik Indonesia yang menjadi teladan bagi Pak Zul?
ZH: Kalau saya Buya Hamka. Selain punya prinsip yang kokoh, menguasai ilmu agama, juga paham sekali soal politik. Dan pendiriannya seperti batu karang. Dadanya lapang sekali, luas.
AK: Sebentar lagi mau pilpres, apakah masih ditemukan sosok seperti Buya Hamka?
ZH: Kalau PAN sudah mutusin capresnya Zulkifli Hasan. Sudah. Sudah itu. Tapi kan syaratnya 20 persen (ambang batas pencalonan presiden). Nanti tentu koalisi. Koalisi itu tentu bukan harga mati kan. Harga hidup, nanti ya. Siapa yang terbaiklah buat negeri ini, agar lebih berdaulat, lebih adil.
AK: Proses masih terus berlanjut?
ZH: Terus, sekarang intens.
AK: Dan akhirnya siapa pun nanti ke mana PAN berlabuh...
ZH: Kita putuskan yang terbaik untuk negeri, tetapi saya berharap ini pertandingan penuh persahabatan. Kan kita sama kita. Kita bukan melawan orang asing. Oleh karena itu, saya berharap agar kompetisi ini berkualitas, bermartabat.
Yang menang harus siap menarik yang kalah. Yang kalah harus menghormati yang menang, jangan ngeyel. Udah kalah nuntut sana sini, ribut sana sini, kan gak betul begitu. Demokrasi yang matang.
Inget yang kemarin, gara-gara kita tarung, DPR dua tahun. Grup A, grup B, Grup A, grup B, nah saya berharap kalau memang menang, ya sama-sama. Yang (menang) besar dapat besar, yang kecil dapat kecil, yang sedang dapat sedang. Kerja, melayani rakyat dengan baik.
Oh, bahwa ada yang sedikit-sedikit kena tekel, oh gak apa-apa. Tapi jangan patahin kaki dong. Itu yang disebut politik kebangsaan.
AK: Termasuk yang ditanyakan oleh @IrfanPemuda: Dengan hasil pertemuan SBY dan Prabowo semalam, ada bermunculan narasi PKS dan PAN pengaruhnya jadi berkurang untuk menentukan cawapres. Apakah Pak Zul sependapat dengan narasi itu? Atau narasi itu sekadar provokasi untuk menjegal terjadinya koalisi PAN, PKS, Gerindra, Demokrat?
ZH: Ini bukan soal kurang dan nambah. Kalau proses politik bukan kurang dan tambah, tapi saya kira masing-masing parpol akan mencari yang terbaik. Bukan kurang atau tambah ya, berapa persen atau berapa persen, saya kira proses. Dalam proses itu di detik akhir bisa saja berubah. Dulu kita dukung gubernur a, tapi waktu pendaftaran bisa berubah.
Kita hormati saja proses semuanya, nanti mana yang terbaik tentu menurut persepsi parpol masing-masing.
AK: Termasuk ketika Pak Prabowo bertemu SBY?
ZH: Itu suatu proses, biasa saja.
AK: Sudah berbicara juga (Prabowo) dengan Pak Zul?
ZH: Pasti.
AK: Termasuk ketika bertemu Pak jokowi?
ZH: Kalau dalam diskusi kan ada yang kita sampaikan, ada yang untuk kita, ada yang perlu disampaikan atau tidak. Tentu kita mesti tahu, mana yang iya, mana yang bisa share.
AK: Termasuk yang dengan Pak Jokowi itu belum bisa di-share ya?
ZH: Itu yang saya share. Pertama saya report, beliau kan Presiden kita. Kepala Negara. Saya ketua MPR. Kami akan sidang MPR 16 agustus. itu mesti report.
Kita mengambil putusan pasal 1 dan pasal 2 untukmenyempurnakan pokok-pokok haluan negara, kita mesti report. Tapi sebagai politisi, saya juga ketum partai, bicara juga soal politk. Ada hal tertentu saya katakan, proses.
AK: Ada lagi pertanyaan dari @Wae_prasetya, 'Pak Zulhas jika setelah Pemilu 2019 tidak menjabat lagi sebagai ketua MPR, apa masih mau jika ditawari jabatan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup?
ZH: Ndak, saya sudah ndak. Saya jadi guru kalau sudah tak menjadi apa-apa. Kalau pensiun ya jadi guru lagi. Kan saya ini guru. Sekolah saya kan sekolah guru.
AK: di Muhammadiyah atau di...?
ZH: PGA namanya. Pendidikan Guru Agama. Nyangsang ke pengusaha, eh saya jadi politisi.
AK: Jadi tak risau dengan perjalanan politik ke depan seperti apa?
ZH: Risau itu kan kalau kita tak punya iman. Kita jalani yang penting landasan kita kokoh. Saya landasan berbuat ini adalah bagian dari ibadah. Bagian dari alam saleh. Kalau kita kokoh di situ, apa pun biasa saja.
AK: Pesan Pak Zul terhadap generasi muda?
ZH: Anak muda kita tentu tak kalah dengan anak muda mana pun di dunia. Kita punya talenta-talenta yang hebat. Oleh karena itu berjuanglah dengan sungguh-sungguh. Gapailah prestasi setinggi-tingginya. Ingat tak ada prestasi dicapai tanpa kerja keras.