Ia mengatakan, sistem proporsional tertutup akan membuat masyarakat lebih sulit mengontrol wakilnya. Sebab sistem coblos partai itu memberikan kewenangan sepenuhnya kepada partai politik untuk menentukan wakil yang duduk di lembaga legislatif.
"Jangan kan partainya, orangnya saja belum tentu bisa kita pegang, kira-kira begitu, apalagi partainya. Bukan hanya jauh, bagaimana menyentuh partai. Kalau sekarang kan sudah lebih enak," kata dia dalam Special Program Metro TV 'Darurat Demokrasi: Pemilu Terancam Pakai Sistem Tertutup', Senin 27 Februari 2023.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Ray mencontohkan, apabila ada calon legislatif yang main-main saat terpilih maka masyarakat bisa tidak memilihnya lagi. Begitu pun partai politik, apabila calon yang dimajukan tidak sesuai aspirasi masyarakat maka besar kemungkinan tidak akan terpilih.
"Sekarang caleg-caleg kalau ada main-main enggak kami pilih loh. Partai juga, enggak bisa ini, partai harus kita benerkan sebab kalau enggak kita yang kena. Jadi kontrol sebetulnya kepada kontrol partai politik," ujarnya.
Baca juga: Bertentangan dengan Kedaulatan Rakyat, Gugatan untuk Proporsional Tertutup Harusnya Ditolak |
Ia juga menilai, pikiran untuk kembali ke proporsional tertutup hanya relevan di era 60-an hingga 90-an. Sementara di era keterbukaan informasi seperti sekarang, Ray menyebut, publik bisa memberikan suaranya secara langsung melalui pemilu terbuka.
"Ketika medsos belum ada itu kita berpikir alat pengumpul suara publik itu kita sebut partai politik. Oleh karena itu perlu namanya penguatan partai supaya suara-suara yang berserakan itu dikumpulkan dalam partai politik itu. Sekarang toh lebih banyak orang ngadu ke individu daripada ke partai," ungkap dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id